Sejak tahun 1980-an, daya saing menjadi tema utama dalam pembicaraan mengenai perekonomian dunia, baik dalam wacana akademik maupun praktikal. Konsep yang dulunya lebih dekat dengan dunia korporasi ini kini juga menjadi relevan dengan strategi pembangunan negara. Dalam situasi global yang dinamis, daya saing menjadi faktor krusial yang menentukan apakah suatu negara dapat bertahan dan bergerak maju.
Hal ini disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014, Prof. Dr. Boediono, saat memberikan keynote speech dalam Economics and Business Doctoral Colloquium and Conference (EBDCC), Jumat (18/11) di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Dalam penyelenggaraan yang kedelapan ini, EBDCC mengambil tema “Towards Sustainable Resources by Empowering Indonesia’s Capabilities and Competitiveness.”
Di hadapan para akademisi serta mahasiswa S2 dan S3 yang hadir, Boediono menyampaikan pentingnya pendekatan yang lebih baik untuk memahami kondisi global serta mencari strategi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Situasi dunia modern yang kompleks, menurut Boediono, menuntut para pakar dan praktisi untuk tidak hanya fokus pada isu teknis yang spesifik, tapi juga mampu melihat dalam perspektif yang lebih luas.
“Tahu banyak tentang hal-hal kecil itu tidak cukup. Itu pekerjannya tukang. Indonesia butuh lebih dari sekadar tukang, Indonesia butuh pemimpin yang berwawasan yang bisa membawa bangsa ini untuk maju,” ujarnya.
Dalam konteks mengenai daya saing, ia menjelaskan, pendekatan yang diperlukan adalah bagaimana mencari determinan yang lebih fundamental dari daya saing. Daya saing, menurutnya, bukan sekadar persoalan bertahan hidup, tetapi bagaimana memajukan negara dan mencapai kesejahteraan. Ia menyebutkan tiga kunci utama pembangunan negara yang perlu menjadi perhatian penting, yaitu kualitas sumber daya manusia, pembangunan institusi, serta perbaikan infrastruktur.
“Dari yang saya amati selama ini, kalau satu bangsa mau maju supaya dapat bertahan dan menjadi sejahtera, dalam 3 area ini harus dilakukan pembangunan jangka panjang, tidak cukup tiap tahun atau tiap 5 tahunan ada program. Siklusnya lebih panjang dari siklus politik,” imbuhnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Kepemimpinan, institusi atau pemerintahan, serta infrastruktur, menurutnya, menjadi tiga tantangan utama bagi peningkatan daya saing di Indonesia. Di sisi lain, ia menambahkan, karakter negara Indonesia yang heterogen memunculkan berbagai kesenjangan juga menjadi tantangan tersendiri.
Ia menyebutkan berbagai ketimpangan yang ada saat ini, diantaranya ketimpangan kesejahteraan ditunjukkan oleh rasio Gini yang semakin melebar, kesenjangan ekonomi antarwilayah dan aktivitas ekonomi pada level nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta kesenjangan ekonomi antarsektor. Selain itu, ketimpangan juga masih terjadi dalam penguasaan tanah, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta akses terhadap jasa keuangan.
“Berbagai ketimpangan yang ada menjadi salah satu ciri pembangunan ekonomi yang belum inklusif. Ini adalah tantangan internal bagi penguatan daya saing. Peningkatan daya saing harus dimulai dari penguatan ekonomi daerah yang nantinya akan memperkuat perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing nasional,” papar Hermanto.
EBDCC yang diselenggarakan secara tahunan oleh Program Magister dan Doktor FEB UGM serta Ikatan Mahasiswa dan Alumni Doktor Ekonomika dan Bisnis UGM ini berlangsung selama dua hari, dari 18 hingga 19 November 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh 120 peserta, termasuk diantaranya 60 orang pemakalah yang akan mendiskusikan topik-topik terkait kapabilitas dan daya saing Indonesia sesuai dengan bidang mereka masing-masing. (Humas UGM/Gloria)