Kondisi geografis Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau, berada di kawasan iklim tropika, dan dijaga oleh arus laut dari 2 samudra besar menyebabkan biodiversitas di Indonesia sangat tinggi, unik, dan endemik, atau sering disebut sebagai negara megabiodiversitas. Namun, tingginya kekayaan sumber daya hayati belum banyak dieksplorasi dan dimanfaatkan secara bijak.
Guna menghimpun cendekiawan dan pemerhati keanekaragaman hayati di Indonesia, Fakultas Biologi dan Program Pascasarjana Fakultas Biologi UGM menyelenggarakan Seminar Naasional Biologi Tropika 2017 pada Sabtu (15/7). Seminar bertajuk “Biodiversitas Tropika Indonesia: Kekayaan dan Pemanfaatannya” ini dihadiri oleh setidaknya 67 hadirin dari lebih dari 10 institusi di Indonesia.
“Baru 10 persen kekayaan alam yang sudah dieksplor. Bagaimana dengan yang 90 persen lagi? Jangan sampai sebelum kita kenali itu sudah lebih dulu hilang,” ujar Dekan Fakultas Biologi, Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., saat membuka seminar ini.
Dalam seminar ini, dihadirkan 3 orang pakar yang memberikan paparan sesuai bidang mereka masing-masing dalam sesi pleno. Mereka adalah Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc., Pakar Biologi Konservasi dan Ekologi, FMIPA UI, Juswono Budisetiawan, M.Si., Project Leader WWF Indonesia Program Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) Papua yang juga Kepala Kantor WWF di Kabupaten Teluk Wondama Direktorat Papua, serta Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc.
Dalam kesempatan ini, Jatna memberikan pemaparan seputar kekayaan biodiversitas tropika Indonesia beserta pemanfaatannya. Fenomena ini, ujarnya, perlu dilihat sebagai aset yang memiliki keuntungan komparatif dan kompetitif untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa.
Meski bangsa Indonesia secara turun-temurun telah memanfaatkan biodiversitas untuk pangan, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya, namun pemanfaatan sumber daya yang ada masih belum maksimal karena belum mengikuti perkembangan teknologi. Dalam hal ini, menurutnya, pakar biologi di perguruan tinggi harus memberikan inovasi untuk mengembangkan cara pemanfaatan dan konservasi biodiversitas sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global.
“Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sekarang sudah sangat mumpuni kita harus merubah paradigma dan pemahaman tentang biodiversitas dari pertelaan morfologi dan sifat-sifat biologi kepada pertelaan tentang DNA melalui sequuencing dan sekarang beralih lagi dari membaca ke menulis gen dan editing,” jelasnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menekankan perlunya dukungan politik dan investasi secara sungguh-sungguh dari negara, ilmuwan, masyarakat madani, serta pelaku bisnis sehingga dapat terbentuk N-helix yang mengarusutamakan isu dan tantangan biodiversitas ke arah pembangunan berkelanjutan.
Usai pemaparan oleh Jatna, sesi pleno dalam seminar ini dilanjutkan oleh Juswono yang menyampaikan pengalamannya dalam konservasi hiu paus di kawasan ekowisata, TNTC. Sementara itu, Dr. Budi menekankan pada peran genetika dan pemuliaan dalam upaya konservasi sumber daya hayati yang berkelanjutan.
Dalam seminar ini diadakan pula pemaparan hasil penelitian 28 pemakalah dari berbagai perguruan tinggi dalam 3 Sesi Panel. Seluruh makalah yang diterima ini nantinya juga akan dimuat dalam Journal of Tropical Biodiversity and Biotechnology (JTBB) yang diterbitkan oleh Fakultas Biologi UGM.
“Harapannya, kegiatan ini bisa menjadi ajang diskusi dan bertukar pikiran mengenai informasi-informasi keanekaragaman hayati Indonesia dan juga memperkuat jejaring antar peneliti Biologi di Indonesia”, harap Dr. MiftahulIlmi, M.Si., selaku Ketua Panitia Seminar Nasional, yang juga merupakan pengelola JTBB. (Humas UGM/Gloria)