Indonesia menjadi satu dari enam negara dengan jumlah insiden tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia, dengan jumlah penderita yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, kejadian dropout juga masih menjadi masalah sehingga layanan in-service belum bisa menunjukkan hasil yang optimal. Untuk mengatasi kejadian dropout dan ketidakpatuhan minum obat pada pasien TB, diperlukan peningkatan peran perawat secara komprehensif.
“Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan memiliki posisi strategis yang mampu berkontribusi dalam memberikan pelayanan keperawatan TB. Peran perawat dalam pengendalian tuberkulosis sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit dan memastikan keberhasilan pasien dalam menyelesaikan pengobatan,” ujar Risnanto, SST. M.Kes saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Senin (2/10).
Dalam kesempatan ini, ia mempertahankan disertasi berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Project Based Learning tentang Pengelolaan Tuberkulosis Paru dan Manfaatnya terhadap Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Keperawatan.”
Pengajar di STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi ini menjelaskan, akselerasi dan ekspansi program TB nasional menghadapi masalah kurangnya sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas. Program TB nasional dalam menyelesaikan masalah pencegahan dan pengobatan TB, ujarnya, biasanya melemah dan kekurangan dana. Karena itu, untuk efisiensi dan efektivitas program ini perlu dipikirkan penyelenggaraan pre-service training karena sudah masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
“Proses pembelajaran pengelolaan tuberkulosis paru secara komprehensif memerlukan metode dan strategi yang tepat agar dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Mahasiswa perlu mendapat bekal pengetahuan yang cukup memadai mengenai penanganan TB secara komprehensif karena kelak sebagian besar mereka akan bekerja menghadapi kasus TB,” jelasnya.
Hasil observasi yang ia lakukan di STIKes Bhamada Slawi Kabupaten Tegal menunjukkan bahwa pembelajaran pengelolaan tuberkulosis paru masih terlihat konvensional dengan dua jam pertemuan, dan mahasiswa hanya diarahkan untuk memberi asuhan keperawatan berbagai sistem tubuh secara klinis sosial. Karena itu, pemilihan model pembelajaran dalam upaya meningkatkan kompetensi mahasiswa perlu dilakukan sebagai langkah inovasi pre-service.
Model pembelajaran Komunikasi, Penyuluhan kesehatan, dan Ilmu tentang pengelolaan tuberkulosis paru (KOPEN-I TB) project based learning, menurutnya, dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang lebih komprehensif tentang pengelolaan tuberkulosis paru.
“Dalam bahasa jawa, kopeni berarti memelihara sehingga diartikan upaya memelihara pasien tuberkulosis paru agar dapat patuh menjalani program pengobatan melalui pendampingan yang dilakukan oleh pengawasan mahasiswa,” kata Risnanto.
Ia menyebutkan beberapa pengaruh dari model pembelajaran ini, di antaranya meningkatkan pengetahuan mahasiswa keperawatan tentang pengelolaan TB paru serta meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam melakukan penyuluhan kesehatan. Karena itu, ia menyarankan agar sekolah keperawatan dapat memperbaiki pola pembelajaran dengan cara meningkatkan pengetahuan dan pemahaman metode pembelajaran para dosen, memperhatikan ketepatan dan kesesuaian program pembelajaran.
“Project based learning juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dinas kesehatan dalam penanggulangan tuberkulosis paru melalui kerja sama intensif dengan institusi pendidikan untuk terjun secara langsung mengawal pengobatan tuberkulosis paru pada pasien secara nyata,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)