Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada bersama Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), menyelenggarakan program “Public Lecture”.
Program Public Lecture dilaksanakan 4-6 Desember 2017 di Ruang Seminar Lt.2 Perpustakaan Pusat UGM. Terdapat enam sesi selama tiga hari pelaksanaan yang meliputi seminar, diskusi, peluncuran buku, dan presentasi riset poster. Tema-tema yang dibahas dalam forum ini merupakan turunan dari tema besar JAFF tahun ini, yaitu “Fluidity” seperti “Film and Art Performance”, “Indonesian Film Audience”, “Asia Pacific in the Digital World”, “Distribution and Film Funding”, “ASEAN Identity in the Short Films”, dan diskusi buku Film, Ideologi, dan Militer karya Budi Irawanto dan Cultural Specificity in Indonesian Films: Unity in Diversity karya David Hanan.
Tahun ini, Public Lecture lebih istimewa karena terdapat presentasi poster penelitian tentang sinema di Asia yang dikelola oleh PSSAT UGM. Hasilnya, terdapat 9 presenter terpilih dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang turut andil dalam kegiatan ini.
Direktur JAFF, Budi Irawanto, menjelaskan bahwa program Public Lecture menjadi tradisi dalam JAFF yang diciptakan sebagai ruang pertukaran gagasan untuk menciptakan wacana tentang perfilman. Tidak heran, jika misalnya Reza Rahadian mengomentari pengaruh film pendek yang cenderung menjadi marginal dibandingkan film panjang,
“Ada semangat untuk mendorong filmmaker muda membuat film pendek, namun ada gap antara film pendek dan market. Seperti kasus yang terjadi di Australia dimana terdapat kompetisi film pendek tetapi pemerintah memotong sumbangan untuk film pendek, padahal terdapat kesulitan untuk membuat film pendek maupun film panjang,” tuturnya.
Public Lecture tidak hanya soal film dan pasar, tetapi juga mendiskusikan pengaruh identitas Asia Tenggara terhadap pembuatan film pendek. Wregas Bhanuteja, sutradara yang berasal dari Yogyakarta yang film pendeknya berhasil memenangkan penghargaan dalam Festival Film Cannes, mengakui bahwa identitas kejawaannya sangat memengaruhinya.
Persoalan mencairnya identitas dalam pembuatan film sesuai dengan tema besar JAFF juga dikemukakan oleh Amanda Nell Eu. Sutradara perempuan asal Malaysia keturunan Inggris-Cina Malaysia ini memilih menampilkan karakter perempuan yang kuat dalam film-filmnya seperti Pontianak (Kuntilanak) atau Kali dalam tradisi Hindu.
Pembicara yang hadir dalam acara ini, antara lain Reza Rahadian (aktor), Hanung Bramantyo (sutradara), Tony Rayns (sutradara dan kritikus film), Rukman Rosadi (dosen Institut Seni Indonesia), Dyna Herlina (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta dan co-founder JAFF), Meiske Taurisia (produser film), Maggie Lee (kritikus film), Maxine Williamson (direktur Brisbane International Film Festival), Wregas Bhanuteja (sutradara), Lisabona Rahman (krititikus dan pemerhati film), Agung Sentausa (Badan Perfilman Indonesia), Anocha Suwichakornpong (sutradara), Amanada Nell Eu (sutradara), Sabrina Baracetti (presiden Udin Far East Film Festival), David Hanan (akademisi dari Monash University), serta Budi Irawanto (dosen UGM dan direktur JAFF). (Humas UGM/Satria;foto: PSSAT)