
Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristekdikti, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., mengatakan Kemenristekdikti saat ini tengah menyusun rencana strategis (renstra) untuk pengembangan karakter mahasiswa sebagai calon pemimpin. Dengan renstra ini, mahasiswa perguruan tinggi diharapkan tidak hanya pintar dan berkompeten, namun akan memiliki karakter dan integritas yang baik.
“Salah satu renstra yang disusun tidak saja menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan ataupun riset, namun juga pusat untuk pengembangan karakter mahasiswa,” ujarnya di Auditorium Fakultas Kedokteran, saat berlangsung International Conference on Ethics for the Vulnerable, Rabu (3/1).
Dengan renstra tersebut, kata Ali Ghufron, mahasiswa akan berkarakter dan berintegritas dengan ciri-ciri bekerja keras dengan sungguh-sungguh, toleran, menghargai perbedaan dan memiliki kompetensi. Oleh sebab itu, perguruan tinggi saat ini diharapkan bisa membentuk karakter tersebut dengan baik sehingga bangsa Indonesia memiliki daya saing yang tinggi.
Terkait sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia, Ali Ghufron menuturkan mulai tahun 2014 telah memasuki era baru yaitu era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sistem kesehatan ini telah mengubah banyak hal dan cara dalam pemberian pelayanan kesehatan.
“Intinya orang miskin memiliki hak seperti orang kaya untuk mendapatkan akses kesehatan. BPJS memiliki kewajiban dan peran sampai tahun 2019 sehingga seluruh warga harus dijamin kesehatannya,” katanya.
Ali Ghufron mengakui ada kendala di lapangan terkait pemberlakuan jaminan kesehatan era baru. Meski begitu, semua itu secara manajerial seharusnya bisa diatasi.
Menurutnya, berbagai kendala di lapangan menjadi tantangan sdm kesehatan, termasuk para dokter. Mereka diharapkan secara bersama-sama bisa memahami soal pelayanan kesehatan yang sudah direformasi ini agar tetap terus berjalan.
“Karena reformasi ini menyangkut perubahan di dalam sistem pembiayaan, baik dari sisi masyarakat maupun dokternya. Dengan begitu, saat ini dokter tak lagi bisa menentukan tarif sendiri,” tuturnya.
Dengan sistem yang berbeda ini, kata Ali Ghufron, perlu dipahami bersama-sama karena BPJS akan menghitungnya berbeda dengan dokter. Untuk itu, fakultas-fakultas kedokteran di perguruan tinggi dituntut untuk mengajarkan konsep perubahan sistem pelayanan kesehatan yang sekarang berlaku.
“Itu salah satu bioethic, jadi kalau sumber daya sedikit, uang sedikit harus dibagi semua yang sakit maka gimana membaginya harus adil,” imbuhnya.
International Conference on Ethics for the Vulnerable digelar oleh Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) FK UGM bekerjasama dengan Harvard Medical School (HMS). Disamping untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang kesehatan sebagai bagian dari hak sebagai warga negara, konferensi internasional ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas penanganan masalah atau dilema etik dalam pelayanan kesehatan.
Hadir sebagai pembicara Prof. Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes (Direktur BPJS), dr. Yanri Wijayanti Subroto, Ph.D, Sp.PD, Jolion McGreevy, MD, MPH, MBE, MST, Prof. dr. Yati Soenarto, Sp.A(K)., Ph.D, Rebecca Brendel, JD, MD, Prof. Dr. dr. Agus Purwodianto, DFM, SH, M.Si, Sp.F(K) dan Christin Mitchell, RN, MS, MTS, FAAN. Sementara bertindak selaku moderator Prof. Byron Good, Ph.D, BD, Prof. Mary Jo Good, Ph.D dan Dr. CB Kusmaryanto, SCJ. (Humas UGM/ Agung)