Gas metan merupakan salah satu penyebab pemanasan global (global warming). Sektor peternakan disebut menjadi salah satu produsen gas metan yang cukup tinggi, terutama ternak ruminansia, seperti sapi, kambing, dan domba. Sementara itu, produksi gas metan yang terlalu tinggi juga berdampak pada penurunan produktivitas ternak sehingga menyebabkan kerugian peternak.
Pelaksanaan manajemen peternakan yang kurang baik semakin berdampak buruk terhadap kondisi tersebut. Hampir sembilan puluh persen usaha peternak dijalankan oleh dengan sistem tradisional yang belum sadar terhadap isu pemanasan global maupun metan. Hal itu disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan serapan teknologi yang rendah menyebabkan peternakan belum dikelola secara ramah lingkungan.
Berdasarkan masalah tersebut, Laboratorium Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan UGM melalukan pemberdayaan guna meningkatkan pemahaman peternak terkait global warming. Pemberdayaan itu berupa pelatihan upaya mitigasi serta transfer teknologi tepat guna yang mudah diterapkan peternak.
Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiaiti, S.U. IPU, selaku koordinator program, memaparkan teknologi sederhana dapat dilakukan peternak untuk menurunkan produksi gas metan pada ternak ruminansia. “Upaya itu dapat dilakukan dengan manipulasi dan perbaikan pakan yang akan diberikan kepada ternak,” ujarnya.
Melalui program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti), Lies beserta timnya mencoba mengembangkan Teknologi Tepat Guna (TTG) yang mudah untuk diadopsi oleh peternak.
“Kami mengenalkan teknologi Natural Methane Reducing dari dedauan yang mengandung kandungan tanin. Tanin merupakan zat aktif yang banyak terdapat pada tanaman untuk menghambat produksi metan pada ternak ruminansia, seperti daun jati (Tectona grandis), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan mahoni (Swietenia mahagoni). Tanaman tersebut diolah supaya mudah digunakan dan diberikan pada ternak,” tutur wanita yang juga menjabat Kepala Laboratorium Biokimia Nutrisi itu.
Lies memaparkan pengembangan teknologi NMR telah dilakukan pada Kelompok Wanita Tani Gama Ngudi Lestari yang berada di Desa Banyusoco, Playen, Gunung Kidul. Kelompok wanita tani tersebut diajarkan untuk mengolah teknologi NMR dari berbagai tanaman potensial yang tersedia hingga cara pemanfaatannya pada ternak. Kelompok tersebut juga diberi bantuan mesin penghalus (grinder) dedaunan guna memudahkan dalam pembuatan produk NMR.
Pengembangan, lanjut Lies, juga telah dilakukan pada Kelompok Ternak Sedyo Rukun yang berada di daerah peri-urban di Desa Bercak, Berbah, Sleman. “Permasalahan daerah peri-urban di situ yaitu kesediaan lahan untuk hijauan makanan ternak (HMT) yang terbatas sehingga membuat peternak memberikan pakan dari sisa pertanian yang cenderung memiliki kualitas rendah. Alhasil, kondisi tersebut membuat produksi metan akan meningkat,” ungkapnya.
Solusi lain adalah melalui pelatihan pembuatan pakan fermentasi completed feed yang menggunakan bahan utama berupa jerami padi. Fermentasi ini berfungsi untuk memudahkan peternak dalam menyediakan pakan berkualitas dengan kandungan nutrien sesuai pada ternak sekaligus sebagai upaya menurunkan produksi gas metan.
Narto, Ketua Kelompok Ternak Sedyo Rukun, menuturkan pelatihan fermentasi completed feed dan teknologi suplemen pakan NMR dapat membantu peternak dalam menyediakan pakan yang baik untuk ternak. “Terutama di musim kemarau seperti sekarang yang menyebabkan HMT sulit dicari,” keluhnya.
Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc. IPU., salah satu anggota tim program, menambahkan bahwa manajemen pakan yang baik oleh peternak menjadi kunci keberhasilan usaha peternakan. Indikatornya, menurut Zaenal, dilihat dari peningkatan produktivitas ternak maupun cemaran lingkungan yang dihasilkan.
“Adanya transfer teknologi diharapkan memiliki andil untuk mendidik peternak supaya berperan dalam mengupayakan peternakan ramah lingkungan,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)