Batik ditetapkan sebagai warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non bendawi oleh UNESCO pada tahun 2009. Yogyakarta sendiri dinobatkan sebagai kota batik dunia oleh World Craft Council (WCC) di tahun 2014. Sebagai kota batik dunia, Yogyakarta tentu diharapkan dapat berperan sebagai rujukan tempat produksi batik yang memperhatikan kesehatan pembatik dan lingkungan.
Akan tetapi, aktivitas industri batik ternyata juga diikuti timbulnya permasalahan kesehatan pekerja dan lingkungan sekitarnya. Para pembatik banyak terpapar bahan kimia iritatif, toksik, hingga karsinogenik yang berasal dari pewarna batik. Padahal, bahan-bahan tersebut merupakan penyebab tertinggi penyakit-penyakit berbahaya akibat kerja. Mereka rentan mengalamai gangguan-gangguan pada beberapa area tubuhnya, seperti pada kulit, sistem saraf, mata, dan sistem pernapasan.
Selain itu, lingkungan di sekitar industri batik juga semakin tercemar akibat limbah sisa produksi. Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengolah limbah cair batik, namun luaran dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) masih di luar nilai baku mutu, termasuk Pb, Cr dan Si.
Padahal, di sekitar area industri tersebut terdapat pemukiman yang menjadi rumah bagi ibu dan anak. Akhirnya, gangguan-gangguan yang kerap ditemukan pada para pembatik juga dimungkinkan terjadi pada masyarakat sekitar industri. Selain itu, observasi menunjukkan masih minimnya perlindungan K3 pada pembatik. Hal tersebut diperparah dengan minimnya pula komitmen untuk menjaga kesehatan lingkungan di sekitar tempat kerja oleh pemilik usaha.
Permasalahan-permasalahan di atas mendorong peneliti dari UGM, UN AIR, ITB dan IPB yang tergabung dalam sebuah tim Riset Kolaborasi Indonesia Kemristekdikti untuk mengembangkan model intervensi kesehatan, teknologi lingkungan, dan sosial. Tujuannya adalah untuk mewujudkan “Desa Batik Sehat” yang memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja, ramah lingkungan, ramah anak, keluarga, serta masyarakat sekitar (Environmental Friendly No Human Hazards)
“Desa Batik Sehat” ini akhirnya telah diresmikan pada Rabu (22/1) pagi di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo. Peresmian ini meliputi peluncuran modul Standar Operasional Prosedur “Penyakit Akibat Pekerjaan Membatik dan Cara Pencegahannya” serta penyerahan alat pengolahan limbah batik dari tim peneliti kepada perwakilan pembatik.
Sang Kompiang Wirawan, S.T., M.T., Ph.D., Sekretaris Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM, menyatakan bahwa upaya-upaya ini memang sudah sewajarnya dilakukan oleh UGM. Hal itu karena memang sudah tugas UGM untuk melayani negeri ini.
Lebih lanjut, Kompiang berharap agar aksi ini tidak berhenti sampai di sini saja. Menurutnya, peluncuran di Kecamatan Lendah ini hanya mewakili sebagian saja dari keseluruhan industri batik di Yogyakarta, bahkan di seluruh Indonesia. “Batik telah menjadi identitas bangsa kita. Permasalahan yang harus diselesaikan selanjutnya bagaimana membuat gerakan ini lebih besar lagi. Jika industri batik nasional sudah dinyatakan aman maka tahap untuk meluncur ke Internasional sudah tidak menjadi alasan lagi,” ucapnya.
Terakhir, Bupati Kulon Progo, Drs. H. Sutedjo, menyatakan rasa terima kasih serta apresiasinya terhadap kepedulian para peneliti dari UGM serta kampus lainnya terhadap industri batik. “Semoga dengan ini, kualitas hidup para pembatik bisa semakin meningkat serta lingkungan juga akan semakin lestari. Produksi boleh berkemban namun kesehatan juga tetap harus terjaga. Untuk ke depannya, mari bersinergi, kami dari pemerintah akan membantu mengondisikannya,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)