Masyarakat dan negara berhadapan dengan tantangan dan persoalan yang kian rumit dan beragam. Menurut Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH., LL.M., untuk dapat berkontribusi dengan tawaran solusi, kebebasan akademik merupakan keniscayaan. Meski demikian, kebebasan ini perlu didasarkan pada integritas akademik.
“Orang yang terpelajar, terdidik, harus memiliki karakter integritas, termasuk integritas akademik,” ucapnya.
Ia mengaitkan kebebasan akademik dengan enam aspek, yaitu pembelajaran dan riset, kecendekiawanan, peran dan konteks, beragam strata, individual dan institusional, serta integritas akademik.
Integritas akademik, terangnya, adalah komitmen dalam situasi apa pun untuk berpegang pada enam nilai dasar, yaitu kejujuran, kehormatan, kepercayaan, keadilan, tanggung jawab, dan keberanian. Integritas ini menjadi landasan perilaku dan diterjemahkan di dalam tindakan.
Hal ini ia ungkapkan dalam Webinar bertajuk “Persoalan Hukum, Politik, Keamanan, dan Etika Akademik Berbangsa dan Bernegara” yang digelar Dewan Guru Besar UGM, Jumat (19/6).
Kebebasan dan integritas akademik menurutnya kerap mengalami sejumlah penyalahgunaan, seperti eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan, penyesatan atau misrepresentasi, pelanggaran prosedur dan metodologi, pelanggaran etika, serta pemanfaatan status akademisi untuk kegiatan yang tidak relevan demi imbalan.
Sebagai bentuk kebebasan yang melekat baik pada individu ataupun institusi, kebebasan dan integritas akademik perlu dilindungi dari berbagai ancaman yang ada.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam kerja akademik harus ada pertukaran gagasan dan sikap menghormati gagasan orang lain. Pandangan dan sikap berbeda, menurutnya, menghadirkan tawaran pilihan yang dapat dipertimbangkan, dan melengkapi atau menyempurnakan konsep dan kebijakan yang ada.
“Perbedaan dan kebinekaan adalah keniscayaan dan kekuatan dalam mencari dan menemukan solusi. Kebinekaan termasuk dalam cara pandang terhadap masalah atau kebijakan tertentu,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Prof. Soenarto Sastrowijoto, memberikan paparan terkait UGM, Pancasila, dan Bioetika. Perkembangan prinsip-prinsip dasar bioetika, menurutnya, turut dipengaruhi oleh ideologi atau dasar negara.
“Pengembangan bioetika atau etika kehidupan, kita bisa membandingkan Declaration of Independence Amerika, Manifesto Komunis Rusia, dan Pancasila Indonesia. Ketiganya akan berakibat pada perilaku profesional dari bangsa itu sendiri,” paparnya.
Di dunia pendidikan, bentuk pendidikan di abad ke-20 dan abad ke-21 disebut sangat berbeda. Kurikulum pendidikan tinggi di abad ke-20, terangnya, bersifat informatif dan lebih bertujuan untuk mencetak ahli di bidang-bidang tertentu, dan kemudian mengalami reformasi menjadi kurikulum yang bersifat formatif untuk mencetak profesional.
Sementara itu, di abad ke-21, kurikulum pendidikan yang ia sebut sebagai generasi ketiga bersifat transformatif dengan output lulusan yang mampu menjadi agen perubahan. Kurikulum ini kemudian mengalami reformasi menjadi apa yang disebut sebagai transformatif baru.
“Lulusan abad-21 kalau bisa menjadi pemimpin yang inspiratif, yang menjadi role model, dan bahkan menjadi sarjana yang bijak,” ungkapnya.
Penulis: Gloria