Upaya kesehatan perseorangan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu diimbangi dengan peningkatan anggaran upaya kesehatan masyarakat, khususnya pemenuhan anggaran standar pelayanan minimal bidang kesehatan (SPM-BK) untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr. Sunarto, M.Kes, mengutarakan bahwa dalam implementasinya, pembagian kewenangan pusat dan daerah untuk sektor kesehatan membutuhkan sinkronisasi, sehingga perlu komitmen dalam pemenuhan anggaran kesehatan.
“Komitmen dalam bentuk regulasi anggaran SPM-BK masuk dalam kebijakan anggaran kesehatan secara umum,” ucapnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor secara daring pada Jumat (11/9) dengan disertasi berjudul “Komitmen Kebijakan terhadap Pemenuhan Anggaran Standar Pelayanan Minimal Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional”.
Penelitian yang ia lakukan bertujuan untuk membuktikan komitmen kebijakan terhadap pemenuhan anggaran SPM-BK di era kesehatan di Kabupaten Sleman DIY dan Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Terkait regulasi anggaran, ia menerangkan, lintas kementerian telah memberikan dukungan yang relatif baik, dan regulasi antara pusat dan daerah memiliki pembagian yang jelas. Pemda sendiri telah berupaya memberikan penguatan acuan yang berupa perda APBD, peraturan bupati, maupun surat keputusan kepala dinas kesehatan.
Komitmen pemerintah daerah terhadap kebijakan anggaran kesehatan dapat dikatakan relatif signifikan. Secara garis besar, anggaran kesehatan melebihi 10 persen sejak tahun 2016, peningkatan yang signifikan apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum JKN atau sejak menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
“Komitmen alokasi anggaran kesehatan di Kabupaten Sleman jika dibandingkan dengan urusan wajib yang lain, secara persentase meningkat di tahun 2018, setelah masuk era JKN,” kata Sunarto.
Ia memaparkan lima sumber anggaran kesehatan, yaitu dana alokasi khusus (DAK), bantuan operasional kesehatan (BOK), subsidi operasional puskesmas (SOP), dana pendamping dari APBD, dan dana pendapatan puskesmas.
Pendapatan puskesmas sebagai sumber dana program meningkat tajam, minimal empat kali lipat setelah JKN lebih besar secara angka absolut. Komposisi dana kapitasi di level puskesmas minimal 60 persen dari sumber dana yang masuk. Potensi anggaran ini dapat mendukung upaya program dan kegiatan SPM.
Dalam penelitiannya Sunarto juga menemukan bahwa pelaksanaan kebijakan anggaran SPM-BK hampir selalu dihubungkan dengan masalah SDM dan pengelolaan BLUD. Pengalaman puskesmas mengalokasikan sekitar 35%-40 persen dari total anggaran dirasakan cukup untuk membiayai semua kegiatan SPM. Pada kenyataannya, faktor SDM dan ketersediaan obat dapat menjadi kendala dalam pencapaian target SPM-BK.
Tata kelola status BLUD memberikan kesempatan untuk bisa mengatasi masalah tersebut karena memiliki keleluasaan kelola anggaran. Dalam situasi darurat, kebijakan anggaran dituntut untuk lebih fleksibel dalam implementasinya.
“Pasca pengambilan data penelitian ini, peristiwa pandemi Covid-19 menjadi pengalaman berharga dalam pengambilan keputusan kebijakan. Cakupan pelayanan penangangan kasus pandemi merupakan bagian paling prioritas dalam program SPM bidang kesehatan di semua level pemerintahan dan fasilitas kesehatan,” paparnya.
Untuk meningkatkan alokasi anggaran, menurutnya perlu peningkatan kesepahaman dalam menerapkan definisi operasional acuan pelaksanaan SPM-BK agar lebih sinkron, di samping penegasan agar kabupaten/kota mendukung regulasi tata kelola puskesmas dan mengalokasikan anggaran untuk pencapaian target SPM di bidang kesehatan, mendukung paradigma sehat, serta menjamin kecukupan jenis dan jumlah SDM puskesmas.
Penulis: Gloria