Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA) UGM menginisiasi aksi solidaritas Laura Sirep Pageblug dengan menggunakan medium rengeng-rengeng maskumambang sebagai upaya untuk menanggapi krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19.
Aksi ini menjadi salah satu layanan publik untuk menghadapi pandemi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masuk dalam Top 21 Inovasi Pelayanan Publik Penanganan Covid-19 dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
“Kita bersama-sama mengajak siapa saja untuk mulai rengeng-rengeng atau melantunkan uliran nalar dan budi secara musikal dan visual, membuka jalan keluar dari krisis pandemi penuh percaya diri,” ucap Ignasus Kendal, anggota tim riset LAURA.
Laura Sirep Pageblug, terangnya, adalah daya gotong royong menghadapi dan mengelola krisis pandemi secara kultural. Pandemi menyebabkan kebiasaan keseharian hidup manusia baik secara individu maupun komunitas berubah, dan perubahan ini sering kali tidak dapat secara cepat diadaptasi dalam kehidupan keseharian manusia hingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya krisis.
Untuk itu diperlukan upaya mitigasi bencana berupa penyadaran atau penguatan individu maupun kelompok dengan harapan krisis akan berkurang dan masyarakat dapat cepat beradaptasi dalam menghadapi perubahan yang baru.
Melalui keberadaan aksi ini, beban dampak krisis akibat pandemi Covid-19 di masyarakat dan komunitas ditenangkan atau di-sirep dengan abreaksi atau self-healing dalam wujud ragam syair-syair ekspresi ajaran, doa pengharapan, atau tuntunan yang ada dalam kata-kata yang bisa disenandungkan.
Dengan hal ini, diharapkan masyarakat dan komunitas dapat membangkitkan kembali rasa percaya diri dan juga tindakan kesadaran diri untuk menjalani kehidupan keseharian dalam situasi kondisi pandemi atau pageblug.
“Pada setiap kebudayaan pasti ada sesuatu yang bisa ditemukenali kembali sebagai upaya mengatasi krisis akibat pandemi ataupun situasi bencana tertentu. Rengeng-rengeng perlu dikenali kembali dan direvitalisasi dengan dipopulerkan melalui berbagai proses pembelajaran kini dan pengelolaan kultural,” paparnya.
Aksi ini mulai digerakkan pada 18 April silam melalui sejumlah poster yang diunggah di media sosial. Seminggu berselang, telah masuk 28 pupuh Maskumambang dari para partisipan, yang menceritakan sikap diri dan perasaan hati dalam menjalani situasi krisis pandemi Covid-19 ini dari tempat atau lokasi masing-masing.
Hingga penerimaan karya ditutup pada awal Juni, rangkaian proses riset-aksi solidaritas kultural ini telah melibatkan 678 partisipan dari berbagai daerah, dengan total kreasi rengeng-rengeng pupuh tembang macapat Maskumambang Sirep Pageblug adalah sejumlah 1.019 buah pupuh dalam beragam bahasa.
Jumlah partisipan terbanyak berasal dari wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat pula partisipan dari sejumlah daerah di Indonesia seperti Aceh, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat, hingga negara-negara Asia dan Eropa seperti Thailand, Jepang, Belanda, Austria, Prancis, Polandia, dan Serbia.
“Ini menjadi sangat menarik, memberikan gambaran awal kepada kita, bahwa ekspresi self-healing dengan aset kultural kita ini dapat dipergunakan sebagai sebuah model mekanisme yang dapat dipergunakan secara konsentris mengglobal,” ucapnya.
Di samping menerima penghargaan dari Kemenpan-RB, aksi ini pun mendapat apresiasi dari Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Penulis: Gloria