Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus) Fakultas Filsafat UGM menggelar kegiatan Simposium Nasional Filsafat Nusantara I pada Sabtu (14/11) . Acara ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom.
Kepala Lafinus Filsafat UGM, Dr. Heri Santoso, mengatakan tujuan acara ini bertujuan untuk mengeksplorasi kekayaan filsafat dan kearifan lokal Nusantara yang dapat dijadikan sebagai alternatif pemecahan masalah di Indonesia. Hal ini selaras dengan semangat yang diusung oleh UGM, yakni Locally Rooted, Globally Respected. Oleh karenanya, ia menyebut tema “Eksplorasi Kekayaan Filsafat dan Kearifan Lokal Nusantara dalam Rangka Membangun Indonesia Maju” dipilih untuk SNFN I ini.
Simposium Nasional ini menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi (Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), MA., Ph.D, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra M.A., M.Phil. (Antropolog UGM), Dr. Sartini (Ketua Departemen Timur Fakultas Filsafat UGM), dan Sujewo Tejo (Budayawan). Selain itu, hadir pula sebagai pembicara kunci Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D., Dirjen Dikti.
Dalam paparannya, Prof. Heddy menegaskan bahwa kearifan lokal adalah sebuah kekhasan dari masyarakat tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Secara spesifik, ia menyebut kearifan lokal selalu menyangkut nilai etis dan estetis. Heddy menyatakan bahwa penelitian tentang kearfian lokal sudah dilakukan oleh banyak pihak. Namun, menurutnya, masih ada permasalahan mendasar yaitu kurangnya koordinasi.
“Tidak mengherankan jika pihak-pihak yang berkecimpung dalam kearifan lokal cenderung berjalan sendiri-sendiri dan hasilnya pun cenderung tidak tertangani dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sebuah upaya untuk merangkai berbagai kajian kearifan lokal tersebut menjadi suatu karya yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak,” ujarnya.
Di sisi lain, Sujewo Tejo menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecerdasan majemuk yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain. Menurutnya, dengan kecerdasan majemuk ini maka masyarakat Indonesia mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain. “Hal tersebut yang saya kira sebagai bentuk kearifan lokal. Ini menjadi sebuah modal untuk menjaga keharmonisan hidup manusia,” terangnya,
Yudian membenarkan peryataan itu dan menyatakan bahwa Indonesia memang sangat kaya akan kearifan lokal. Kepala BPIP tersebut menambahkan bahwa kearifan-kearifan tersebut masih sesuai dengan perkembangan zaman.
“Jika dikelola dengan baik, hal itu akan sangat mendukung kebijakan Indonesia maju,” terangnya.
Upaya penelitian dan kajian-kajian tentang kearifan lokal sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para akademisi di Indonesia, termasuk di UGM. Hal itu seperti yang dipaparkan oleh Sartini.
“Hal yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana melakukan publikasi dan pengembangan jejaring kerja sama untuk mengangkat kearifan lokal”, tegas Dosen Filsafat UGM ini.
Terakhir, Prof. Nizam menambahkan bahwa upaya mengangkat kajian kearifan lokal melalui pendidikan tinggi tersebut selaras dengan program Kampus Merdeka, Merdeka Belajar yang tengah digaungkan Dikti. Melalui program tersebut, ia menjelaskan bahwa mahasiswa tidak lagi hanya terbatas di ruang kelas saja, melainkan diberi kesempatan pula untuk belajar melalui pengalaman langsung di masyarakat.
Prof Nizam menerangkan bahwa mahasiswa bisa melakukan kegiatan non-kuliah, seperti magang, penelitian, atau pengabdian dengan terjun langsung ke masyarkat, baik dunia kerja atau sosial, sesuai minat mereka. Namun, hal itu tetap masuk ke dalam SKS dan dengan bimbingan dosen.
“Tujuan kami adalah untuk membangun SDM unggul dari proses mahasiswa menghadapi permasalahan di masyarakat yang sebenarnya sehingga setelah lulus, mereka mampu beradaptasi dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan di masyarakat. Hal itu karena merekalah yang nantinya menjadi penggerak menuju Indonesia maju,” pungkasnya.
Simposium yang berlangsung selama satu hari ini, selain menghadirkan para pembicara tadi, juga menampilkan 20 pemakalah call for papers yang berasal dari berbagai institusi di Indonesia. Kegiatan simposium nasional daring ini diikuti sekitar 211 orang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Penulis: Hakam