Delirium disebut-sebut menjadi salah satu gejala baru Covid-19. Penyakit ini diklaim banyak ditemukan pada pasien Covid-19 di usia lanjut atau lansia.
Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM), dr. Fajar Maskuri, Sp.S., M.Sc., mengatakan delirium merupakan gangguan sistem saraf pusat berupa gangguan kognitif dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan. Kondisi ini terjadi akibat disfungsi otak pada beberapa pasien Covid-19.
Ia menyampaikan terdapat sejumlah gejala delirium. Salah satunya adalah kebingungan pada pasien Covid-19. Lalu, disorientasi, bicara mengigau, sulit konsentrasi/kurang fokus, gelisah, serta halusinasi.
“Gejala-gejala itu munculnya fluktuatif dan biasanya berkembang cepat dalam beberapa jam atau beberapa hari,” jelasnya saat dihubungi Kamis (17/12).
Adapun penyebab delirium pada pasien Covid-19 disebutkan Fajar karena multifaktor. Salah satunya kurangnya oksigen dalam tubuh atau hipoksia. Berikutnya, adanya penyakit sistemik dan inflamasi sistemik, gangguan sistem pembekuan darah yang terlalu aktif (koagulopati), dan infeksi virus Covid-19 langsung ke saraf. Lalu, mekanisme autoimun pasca infeksi dan endoteliitis turut berpengaruh terhadap munculnya delirium pada pasien, namun dengan intensitas lebih jarang dibandingkan mekanisme yang lain.
Lalu, seberapa sering delirium muncul pada pasien Covid-19? Fajar menjelaskan bahwa gangguan neurologis dapat terjadi pada sekitar 42.2 persen pasien Covid-19. Sementara manifestasi gangguan neurologis tersering pada pasien Covid-19 adalah nyeri otot (44.8 persen), nyeri kepala (37.7 persen), delirium (31.8 persen), dizziness (29,7 persen).
“Secara umum, delirium dialami pada 13-19 persen pasien Covid-19,” terangnya.
Lebih lanjut Fajar menjelaskan delirium ini rentan terjadi pada orang lanjut usia (lansia) atau di atas 65 tahun, terutama pada lansia yang lebih lemah. Terdapat beberapa kondisi lain yang menyerupai delirium Covid-19 pada lansia. Beberapa di antaranya delirium akibat gangguan kognitif yang bersifat fluktuatif seperti yang terjadi pada ensefalopati uremikum serta gangguan kognitif yang bersifat terus-menerus seperti pada demensia.
Delirium banyak dijumpai pada pasien Covid-19 lansia, tetapi bukan berarti pasien dengan usia muda tidak bisa terkena delirium. Ditemukannya delirium pada pasien Covid-19 usia muda menandakan adanya ensefalopati akibat gangguan pernafasan yang berat.
Selain itu, delirium juga dapat terjadi pada pasien-pasien yang mendapat obat-obatan psikotropika karena kondisi penyakit tertentu. Oleh sebab itu, peran keluarga sangat penting untuk memberikan informasi tentang riwayat penyakit dan obat-obatan yang dikonsumsi pasien kepada petugas medis saat pasien dirawat.
Delirium pada pasien Covid-19 disebutkan Fajar berhubungan dengan kegagalan sistem multi-organ. Karenanya pasien Covid-19 dengan gejala berat berisiko empat kali lipat mengalami delirium.
“Delirium pada Covid-19 berhubungan dengan pemanjangan masa rawat inap (length of stay) hingga 3x lipat,”ucapnya.
Dalam jangka panjang delirium berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih buruk pada pasien-pasien Covid-19 yang dirawat. Sebab, pasien membutuhkan pemantauan jangka panjang untuk menilai beban akibat delirium yang sebenarnya. Sementara pada beberapa pasien Covid-19 dengan gejala ringan yang tidak membutuhkan rawat inap dilaporkan mengalami gangguan konsentrasi yang terus-menerus dan penurunan memori jangka pendek (‘brain fog’). Oleh sebab itu, evaluasi sistem saraf dan kognitif menjadi penting untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut serta untuk menentukan terapi rehabilitasi yang dibutuhkan pasien.
“Karenanya kenali dan waspadai delirium yang dapat menjadi gejala awal Covid-19. Segera periksakan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat bila ada keluarga yang dicurigai mengalami kondisi delirium,” tegasnya.
Penulis: Ika
Foto: Ilustrasi