Awal tahun 2021 ini, beberapa problem nasional bermunculan, seperti kenaikan kasus Covid-19 yang memaksa beberapa daerah kembali menerapkan PSBB hingga kelangkaan serta kenaikan harga kedelai di pasaran. Penyebab dari problem kedelai tersebut antara lain ditengarai dari kondisi negara penyuplai kedelai yang terkena La Nina, aksi mogok dan lonjakan permintaan dari Cina.
Subejo, SP., M.Sc., Ph.D., Dosen Fakultas Pertanian UGM, menilai kondisi ini sebenarnya sudah dapat diduga dilihat dari fakta kondisi konsumsi dan produksi kedelai di Indonesia. Pertama adalah fakta kebutuhan kedelai yang meningkat terus menerus seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Terlebih, kedelai telah menjadi bahan baku tempe dan tahu yang merupakan lauk keseharian bagi seluruh lapisan masyakarat di Indonesia.
“Data dari Kementerian Pertanian (2018) menunjukan adanya tren peningkatan konsumsi kedelai perkapita/tahun, yaitu pada tahun 2017 di angka 8,776 Kg/kapita/tahun menjadi 8,857 Kg/kapita/tahun di tahun 2018. Dengan peningkatan kebutuhan kedelai sebagai bahan baku langsung produk pangan maupun bahan baku berbagai produk pangan ikutan maka ketergantungan pada kedelai semakin membesar pula,” ungkapnya, Rabu (20/1).
Hal yang kedua yang disoroti Subejo adalah fakta produksi kedelai nasional cenderung menurun atau stagnan. Secara historis, ia menyebut sebenarnya Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada 1990-an, yakni ketika produksi kedelai lebih dari 1,5 juta ton/tahun. Namun, seiring dengan peningkatan kebutuhan dan juga berbagai problem produksi maka kapasitas produksi nasional stagnan, bahkan dalam beberapa tahun kurang dari 900.000 ton/tahun. Terakhir, tahun 2020 kemarin produksi mendekati 1 juta ton, tetapi masih jauh dari kebutuhan nasional yang lebih dari 2 juta ton/tahun.
Subejo menambahkan bahwa produksi kedelai yang lebih kecil dibanding jumlah yang diproduksinya itu juga tidak banyak mendapat perhatian, baik dari pemerintah maupun petani di Indonesia. Hal itu terjadi karena menurut mereka kedelai dinilai kurang menguntungkan dan menarik, baik dari segi harga hingga kapasitas produksinya. Belum lagi, produk kedelai lokal mendapat serbuan dari produk impor yang murah karena mendapat subsidi dari negara produsennya serta turut disambut baik oleh pemerintah dan para distributor lokal.
Secara geografis, Subejo juga menjelaskan bahwa kapasitas produksi Indonesia sebagai negara tropis memang tidak bisa sepenuhnya berkompetisi dengan kapasitas produksi di negara empat musim. Rata-rata produksi kedelai di Indonesia kurang dari 1,5 ton/ha, sementara di negara-negara empat musim bisa mencapai lebih dari 2, ton/ha bahan ada yang mencapai rata-rata 3 ton/ha.
Oleh karenanya, Subejo menyebut bahwa saat ini merupakan momentum bagi pemerintah pusat dan poemerintah daerah, termasuk desa, yang memiliki lahan pertanian potensial. Mereka dapat memberikan dukungan infrasrtuktur, pasca panen, dan sistem tata niaga yang efisien untuk merevitalisasi kapasitas produksi kedelai nasional.
“Jika kebijakan dan program revitalisasi kedelai dilakukan secara terintegrasi mulai aspek hulu sampai hilir nampaknya sangat prospektif menyelesaikan problem ketergantungan impor kedelai. Jika ketergantungan kedelai impor mengecil, goncangan harga di pasar internasional relatif tidak terlalu menganggu harga kedelai di pasar nasional,” paparnya.
Subejo menyebut bahwa kementerian pertanian dapat mulai dengan berkerja sama dengan perguruan tinggi untuk terus mengembangkan berbagai benih kedelai unggul yang sesuai dengan kondisi daerah/lokal. Selain itu, dukungan insentif dan tata niaga yang baik perlu didorong.
Hal lain yang penting, menurut Subejo yakni perlunya pembatasan impor kedelai sehingga akan mendorong harga kedelai lokal dan pada gilirannnya akan mendorong peningkatan kapasitas produksi nasional. Penyuluhan pada petani dan pendampingan intensif juga sangat penting sehingga adopsi petani pada kedelai varietas baru yang prospektif bisa lebih cepat dan stabilitas produksi dapat dijaga.
“Beberapa hasil pemuliaan kedelai unggul nasional menunjukkan hasil yang cukup prospektif dengan produktivitas di atas 2 ton/ha. Salah satunya kedelai hitam Mallika yang dikenalkan oleh UGM. Pemerintah perlu mengadopsi benih-benih kedelai yang potensi produksinya tinggi dengan dukungan infrastruktur, input, dan sistem pemasaran yang lebih efisien. Hal ini akan sangat prospektif mengangkat harga kedelai lokal. Dengan demikian, produksi kedelai menjadi lebih kompetitif dan di sisi lain ketergantungan pada kedelai impor semakin menurun,” pungkasnya.
Penulis: Hakam
Foto: bisnis.tempo.co