Terapi berbasis stemcell atau sel punca semakin maju dan berkembang pesat di negara maju. Bahkan, terapi sel punca telah digunakan sebagai imunomodulator dan anti-inflamasi untuk mengatasi badai sitokin saat terpapar Covid-19. Terapi lewat sel punca ini dinilai mampu memperbaiki kondisi lingkungan mikro jaringan paru, memperbaiki organ-organ lain yang mengalami kerusakan. Dari penelitian yang telah dilakukan, pasien pneumonia Covid-19 yang terapi sel punca, lebih mampu bertahan hidup, dan bisa mempercepat pemulihan perawatan pasien ICU dibandingkan dengan pasien tanpa terapi sel punca.
Tidak hanya pada pengobatan pasien Covid-19, pengobatan lewat penyuntikan sel hidup dari lemak, sumsum tulang belakang atau tali pusat ini sudah lama diketahui bisa mengobati berbagai penyakit seperti penyakit jantung, diabetes dan perbaikan kondisi tulang. Namun demikian, pengobatan dengan cara menyuntikkan sel hidup lewat pembuluh intravena ini belum dikenal luas di tanah air karena mahalnya biaya untuk satu kali pengobatan, belum banyak digunakan oleh para kolegium dokter, serta biaya pengobatannya pun belum dijamin oleh pihak asuransi kesehatan serta BPJS. Hal itu dikemukakan oleh Direktur PT. Tristem Medika Indonesia, Indra Bachtiar, M.Sc., Ph.D., kepada wartawan usai penandatanganan nota kesepahaman bersama dengan Universitas Gadjah Mada di sela-sela pembukaan kegiatan Forum Riset Industri UGM, Kamis (25/11).
Indra menuturkan melalui kerja sama dengan pihak UGM, diharapkan banyak dilakukan berbagai produk riset sel punca yang sudah diuji klinis terhadap pasien. Pasalnya, riset sel punca di berbagai perguruan tinggi Indonesia baru sebatas penelitian dasar, namun belum banyak mengarah pada riset terapan. Menurutnya, apabila kerja sama antara perguruan tinggi, industri dan pemerintah terjalin diharapkan produk stemcell dari dalam negeri makin bisa berkembang dan dimanfaatkan oleh masyarakat. “Kita ingin stemcell sebagai produk dalam negeri sehingga bisa mengurangi ketergantungan karena hampir 95 persen bahan bakunya masih impor. Ini suatu dilema, tantangan bagi kita bagaimana bangsa ini bisa mandiri dengan obat obatan baru apalagi stem cell sebagai obat masa depan,” paparnya.
Ia menyebutkan sumber bahan baku stemcell yang digunakan berasal dari sel sumsum tulang belakang, lemak dari darah tepi dan tali pusat. Dari ketiga sumber tersebut, tali pusat diakui yang paling baik karena sel berusia muda. Dibandingkan dari lemak yang kebanyakan selnya sudah berusia tua. ”Padahal, kita ingin sel stemcell yang masih muda,”katanya.
Menurutnya, stemcell mampu memperbaiki sel atau jaringan yang rusak. Memperbaiki membran lutut bagi yang terkena tulang keropos, memperbaiki fungsi pankreas agar bisa memproduksi insulin atau mengubah gula menjadi energi. Sementara pada penyakit jantung, terapi stemcell potensial mengurangi penyumbatan dengan menambah jumlah pembuluh darah. Sedangkan pada kasus stroke, stemcell lebih kepada perbaikan kemampuan motorik, belum mengarah pada perbaikan keseluruhan saraf yang rusak. “Untuk stroke, stemcell belum sampai ke situ, namun percobaan dilakukan paling tidak meperbaiki saraf motorik belum memperbaiki saraf,”katanya.
Mahalnya biaya pengobatan stemcell saat ini menurutnya menjadi kendala pengobatan stemcell masih sangat jarang digunakan oleh para dokter di rumah sakit. Oleh karena itu, ia berharap melalui kerja sama dengan UGM ini diharapkan adanya pengembangan bahan baku stemcell yang bisa diproduksi oleh bangsa Indonesia sendiri. Ia mencontohkan untuk satu tali pusat sepanjang 60 cm saja dari ibu yang sudah melahirkan bisa dikembangkan jadi 40 triliun sel stemcell yang bisa dimanfaatkan oleh ratusan juta orang. Sebab, dosis satu kali terapi penyuntikan sel stemcell melalui intravena, menyesuaikan per kilogram berat badan. “Dosis untuk sekali suntik itu, satu juta sel stemcell per kilogram berat badan. Minimal 70-80 persen dari total sel stemcell yang disuntik tersebut harus hidup semua, ” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson