Sosial media saat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, baik sebagai sarana komunikasi dengan orang lain, untuk mencari jodoh, untuk merekrut karyawan, maupun untuk bisnis. Hal ini disampaikan oleh dosen pemasaran Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Widya Paramita, M.Sc., Ph.D. melalui webinar yang berjudul “Don’t judge a Person by His/Her Social Media Account, Strategi Presentasi Diri Melalui Media Sosial”. Webinar ini diselenggarakan oleh Prodi Magister Sains dan Doktor, FEB UGM pada Jumat, (10/12).
Widya memaparkan sosial media mempunyai peran dalam membangun interaksi sosial diantara anak muda. Selain itu, terdapat fenomena tren Generasi Z mencari jodoh di media sosial selama tahun 2020. Hal ini menurut Widya merupakan indikasi bahwa kepercayaan dan literasi seseorang terhadap media sosial juga semakin meningkat. Dalam hal dunia profesional, sosial media digunakan oleh perusahaan sebagai sarana untuk merekrut karyawan.
“Data statistik di AS yang menunjukkan bahwa 90% recruiter melaporkan ia merekrut karyawan melalui linkedin. Linkedin memang digunakan untuk menampilkan CV secara online terutama untuk jobseeker. Fenomena terakhir adalah sosial media yang digunakan untuk bisnis. Saat ini banyak pengguna sosial media yang memanfaatkan sosial media dengan baik untuk menjadi influencer. Dikatakan influencer karena orang tersebut membagi informasi yang relevan dan menarik untuk pengguna sosial media lain. Terdapat berbagai macam influencer misalnya mikro influencer dan makro influencer,” papar Widya pada Jumat, (10/12).
Widya menjelaskan media sosial bisa mendatangkan banyak manfaat bagi konsumen jika digunakan dengan tepat. Oleh karena itu, menurutnya penting untuk mempunyai strategi presentasi diri di sosial media.
“Strategi presentasi diri adalah upaya seseorang untuk mengelola kesan atau impresi orang lain terhadap dirinya. Secara umum, orang ingin dipersepsikan positif oleh orang lain. Terdapat berbagai macam kategorisasi presentasi diri, contohnya adalah true self vs strategic self dan bragging vs humblebragging,” ujar Widya.
Widya sebagai dosen pemasaran juga melakukan penelitian mengenai humblebragging yang berjudul “The benefits and pitfalls of humblebragging in social media advertising: the moderating role of the celebrity versus influencer” dan dimuat pada International Journal of Advertising. Penelitian ini bertujuan untuk mengusulkan dan menguji faktor kondisional yang menyebabkan variasi dalam efektivitas strategi humblebragging menggunakan the benign violation theory.
Humblebragging menurut Widya adalah strategi presentasi diri yaitu dengan menutup-nutupi niat menyombongkan atau membanggakan diri sendiri dengan merendahkan diri atau komplain. Strategi humblebragging menurut Widya adalah strategi yang sangat populer.
Penelitian yang dilakukan Widya menunjukkan beberapa temuan. Pertama, walaupun secara umum humblebragging dinilai negatif, tetapi secara umum orang menilai humblebragging lebih positif jika dilakukan oleh selebriti daripada dilakukan oleh influencer. Hal ini menurut Widya dikarenakan orang menganggap bahwa sangat wajar jika influencer melakukan humblebragging untuk meningkatkan statusnya. Justru ketika dia melakukan humblebragging maka akan dinilai kurang bersyukur atau tidak kompeten sehingga menimbulkan rasa marah (iritasi) bagi orang umum. Kedua, sebaliknya bagi selebriti, humblebragging dinilai wajar dan menyenangkan karena orang dengan status yang tinggi sangat mungkin merasa jenuh.
Selengkapnya mengenai hasil penelitian Widya bisa diakses disini
Penulis: Desy