Memperingati Hari Hak Asasi Manusia tahun 2021, Indonesia masih menyimpan sejumlah masalah yang harus diselesaikan. Secara umum komitmen pemerintah dan negara dalam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia mengalami progres yang signifikan, tetapi masih juga menyisakan beberapa hal yang harus di follow up dari komitmen pemerintah yaitu terkait perlindungan terhadap kelompok rentan diskriminasi.
“Kalau dalam konteks Indonesia memang ada progres yang signifikan terkait dengan komitmen pemerintah dan negara. Meski begitu masih ada beberapa hal yang harus kita follow up dari komitmen pemerintah, terutama menyangkut perlindungan-perlindungan kelompok rentan diskriminasi,”ujar Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M., Ph.D, di Kampus UGM, Selasa (14/12).
Dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus peneliti dan aktivis perempuan ini menyebut dalam kerangka HAM setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan menyangkut kelompok rentan diskriminasi, yaitu menyangkut soal pengungsi, perempuan, anak, disabilitas dan pekerja migran. Pemerintah diharapkan memastikan perlindungan untuk mereka, meskipun dalam kenyataannya masih saja ada catatan dan kendala.
Menurutnya, mereka belum sepenuhnya mendapatkan hak-haknya meskipun sudah memiliki perangkat undang-undang sebagai pendukung. Ada UU menyangkut ratifikasi perempuan, UU anak yang sempat direvisi dua kali, UU disabilitas dan UU Perlindungan Pekerja Migran dan keluarganya.
“Yang belum adalah UU untuk penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ini memang harus segera untuk memastikan adanya jaminan perlindungan terhadap kelompok perempuan khususnya dari kekerasam seksual,” katanya.
Sri Wiyanti menandaskan pekerjaan rumah pemerintah Indonesia saat ini cukup besar yaitu soal penyelesaian HAM berat masa lalu. Setidaknya ada 16 pelanggaran HAM berat yang sudah diidentifikasikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan catatan 11 belum terselesaikan sedangkan lima diantaranya mampu diselesaikan tetapi tidak cukup memuaskan.
“Jadi, terhadap 11 pelanggaran HAM berat masa lalu ini sebetulnya kan menjadi komitmen pemerintah khususnya pada masa reformasi. Sayangnya, setiap kali ada pergantian kepemimpinan ada harapan untuk diselesaikan tapi belum terjadi juga,” ucapnya.
Hingga saat ini meski ada draft tetapi dinilai lambat sekali dibahas pada tingkat pemerintah. Padahal, para korban HAM masa lalu seperti peristiwa 1965 atau korban Jugun Ianfu sudah sangat tua dan mereka semestinya sudah mendapatkan keadilan. Termasuk peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya.
“Itu saya kira dua pokok terhadap kelompok rentan diskriminatif harus diperkuat harus lebih dipastikan untuk pemenuhannya dalam konteks hukum. Untuk para perempuan berharap segera mendapat UU Pengesahan Penghapusan Terhadap Kekerasan Seksual dan soal mekanisme untuk penyelesaian HAM berat masa lalu,” terangnya.
Ia juga menyoroti soal masih banyaknya perilaku-perilaku diskriminatif yang bertentangan terhadap Hak Asasi Manusia. Misalnya perilaku diskriminatif terhadap kelompok minoritas, termasuk sikap-sikap yang intoleran.
UGM, katanya, sangat mendukung upaya zero tolerance. Sri Wiyanti berpendapat sikap-sikap terhadap intoleransi ini masih sangat kuat di dalam masyarakat, termasuk pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
“Respons para penegak hukum pun biasanya tidak dengan segera melindungi terhadap kelompok-kelompok yang mendapat perilaku intoleransi. Dalam hal ini paling penting bagaimana para penegak hukum memiliki dan menghargai, juga mengintegrasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan kewajiban mereka,” paparnya.
Munculnya kasus kekerasan seksual di Jawa Barat belum lama ini, katanya, mendesak RUU yang Mengatur Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan untuk segera disahkan. Peristiwa kekerasan seksual tersebut sangat memprihatinkan dan boleh dibilang kondisinya saat ini masuk darurat kekerasan seksual.
Sebagai aktivis perempuan, ia menilai kejadian kekerasan seksual terhadap perempuan secara angka hampir tiap hari. Kondisi ini jika tidak ada respons yang cukup signifikan dengan membangun sistem hukum yang memadai maka dikhawatirkan kekerasan-kekerasan akan terus berulang dan dalam konteks hak asasi manusia maka sebetulnya kekerasan terhadap perempuan dan anak masih masuk kategori pelanggaran HAM.
“Ini masuk pelanggaran HAM, karena apa? Konsepsinya adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang berkomitmen untuk menegakkan HAM ternyata tidak menjalankan kewajiban tersebut dan itulah konteks yang disebut Pelanggaran HAM. Oleh karena itu, kita harus segera memiliki peraturan-peraturan yang membantu atau istilahnya melindungi perempuan,” urainya.
Sri Wiyanti mengakui harapan untuk UU Perlindungan terhadap perempuan ini solusinya ada di DPR yang syarat akan kepentingan-kepentingan politik. Proses pembentukan hukum adalah proses politik dan ini dipengaruhi oleh berbagai cara pandang para elite-elite politik di DPR yang hingga saat ini memang menjadi hambatan belum terselesaikannya proses pembahasan di ranah legislatif.
“Terakhir, dua hari lalu RUU ini sudah di baleg panja, sudah disepakati bahwa panja akan membawa RUU ini ke rapat paripurna. Terkait dengan RUU ini kesulitannya dimana karena masih ada satu partai yang menolak, yaitu Fraksi PKS, dan Partai Golkar yang mengusulkan menunda pembahasan. Tetapi 7 partai lainnya setuju, ini merupakan perkembangan baru,” terangnya.
Meski tanpa RUU, ia merasa bersyukur karena saat ini sudah banyak orang yang sadar dengan melakukan terobosan-terobosan yaitu meletakkan inisiatif-inisiatif institusi dalam menyiasati kekosongan hukum yang ada. Seperti misalnya di kampus UGM dengan membuat Peraturan Rektor.
Kemudian di perguruan keagamaan dengan membuat Surat Keputusan Dirjen Diktinya tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di universitas-universitas keagamaan. Pemerintah dengan Permen Dikti, Peraturan Jaksa Agung No 1 tahun 2021 tentang Pedoman Menangani Kasus Kekerasan Seksual terhadap perempuan dan anak yang lebih sensitif.
Juga ada Permen No 3 tahun 2017 dari Mahkamah Agung. Beberapa Pemerintah Daerah juga membuat Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, seperti yang dibuat oleh Pemerintah Daerah DIY.
“Inisiatif-inisiatif cukup banyak. Tetapi inisiatif ini tidak cukup karena harus bersifat nasional karena kalau tidak bersifat nasional tergantung dari kebaikan hati pemerintah-pemerintah daerah yang baik. Misal di Jogja karena memiliki Perda yang cukup baik maka kita memiliki proses dan penanganan kasus lebih baik dari daerah yang lain. Tetapi itu tidak fair untuk daerah-daerah di luar Jogja, di luar Jawa, makanya memang harus ada intervensi serius dari pihak pemerintah di tingkat nasional. Ini saya kira menurut saya yang bisa dilakukan dan tidak dilakukan untuk mendorong sungguh komitmen negara untuk memenuhi perlindungan terhadap kekerasan seksual dan perlindungan-perlindungan lainnya,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : suara.com