Peneliti Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik UGM mengembangkan pesawat tanpa awak untuk deteksi dini kebakaran hutan.
Pesawat tanpa awak yang diberi nama Elang Caraka dirancang mampu terbang selama enam jam dengan jarak tempuh 200 km untuk melakukan pengawasan wilayah secara autonomous.
“Operator dapat mengendalikan pesawat tanpa awak dari jarak jauh serta melihat rekaman gambar secara langsung melalui monitor yang ada di Ground Control Station,” terang Dr. Gesang Nugroho, S.T., M.T. yang memimpin penelitian ini.
Gesang menerangkan bahwa Elang Caraka dikembangkan sebagai solusi untuk mencegah meluasnya kebakaran hutan yang ada di Indonesia. Beberapa tahun belakangan kawasan hutan Indonesia mengalami penyusutan, sebagian besar disebabkan peristiwa kebakaran hutan dan pembalakan liar.
Kondisi geografis, medan lahan gambut yang luas, kurangnya akses jalan, terbatasnya sumber daya manusia, dan minimnya fasilitas menimbulkan masalah yang cukup besar di dalam melakukan pemantauan dan pemadaman dini kebakaran.
“Ketika hutan terbakar, jarang ada yang mengetahui titik terbakar hutan tersebut,” ungkapnya.
Karena itu, menurut Gesang, diperlukan pendeteksi dini titik api di hutan untuk menghindari meluasnya kebakaran hutan.
Selama ini pendeteksi titik api di hutan dilakukan dengan patroli udara menggunakan helikopter. Namun, penggunaan helikopter memakan biaya yang tinggi dan hanya bisa dilakukan siang hari.
Ketika terjadi kebakaran di malam hari, api sudah terlanjur membesar pada keesokan hari sehingga sulit untuk dipadamkan.
Elang Caraka memiliki bentang sayap sepanjang 3,6 m dan badan pesawat sepanjang 1,92 m, serta dilengkapi kamera thermal untuk mengirimkan rekaman udara secara langsung yang dapat dilihat di darat.
Mesin dengan kapasitas 30 cc digunakan untuk menerbangkan pesawat Elang Caraka yang berbobot 20 kg dan hanya memerlukan landasan sepanjang 90 m untuk lepas landas dan mendarat
Pesawat ini dapat mendeteksi kebakaran dengan sensor cerdas Electrical Nose (Enose) yang mampu mendeteksi adanya asap yang ditunjukkan oleh meningkatnya grafik output dari sensor cerdas dibanding dengan kondisi normal tanpa asap.
“Enose bekerja seperti halnya hidung manusia, menggunakan larik sensor gas yang mampu mendeteksi asap tersebut,” kata Gesang.
Penelitian pesawat tanpa awak ini sendiri dimulai dengan tahap perancangan dengan aplikasi desain tiga dimensi, manufaktur, hingga uji terbang.
“Elang Caraka melakukan uji terbang hingga dapat melakukan misi secara sempurna,” imbuhnya.
Pesawat tanpa awak Elang Caraka yang mampu dioperasikan baik siang maupun malam diharapkan mampu mendeteksi dini kebakaran dan tim pemadam dapat melakukan pemadaman secara langsung sebelum titik api membesar dan semakin luas.
“Selain itu, biaya operasional pesawat tanpa awak Elang Caraka juga jauh lebih murah dibandingkan menggunakan helikopter. Sehingga diharapkan kehadiran pesawat tanpa awak Elang Caraka mampu menekan angka karhutla yang ada di Indonesia,” paparnya.
Penulis: Gloria