Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM), Dr. med. vet. drh. R. Wisnu Nurcahyo, dan tim mengembangkan strategi untuk menjaga dan menyelamatkan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dari ancaman kepunahan. Upaya konservasi dilakukan bersama dengan sejumlah mitra.
Seperti yang dilakukan bersama dengan Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (VESSWIC), Wisnu dan tim menjalankan sejumlah program, salah satunya meningkatan kualitas pengelolaan Gajah jinak Sumatera secara terpadu. Lalu, membangun Sistem Database Gajah jinak terkait data individual, rekam medis, identifikasi penyakit dan analisis DNA.
“Gajah Sumatera yang menjadi subspesies Gajah Asia yang masih tersisa di dunia dengan status terancam punah dan populasinya terus menurun karena berbagai faktor. Oleh sebab itu, upaya konservasi penting dilakukan guna menjaga dan melestarikan Gajah Sumatera ini,” papar Wisnu, Selasa (8/2).
Populasi Gajah Sumatera saat ini diperkirakan telah mengalami penurunan sekitar 35% dari tahun 1992 dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu relatif pendek. Menurut World Wildlife Fund for Nature-Indonesia (2008) populasi gajah dengan total individu diperkirakan sebanyak 2400 -2800 ekor.
Banyak faktor yang mengakibatkan penurunan populasi Gajah Sumatera semakin tak terkendali. Wisnu menyebut aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, pembunuhan akibat konflik dan perburuan menjadi ancaman seirus yang memengaruhi kelestarian hewan ini. Konflik antara antara manusia dan satwa liar terutama gajah terus meningkat seiring berjalannya waktu. Pemerintah pun telah membuat lokasi-lokasi untuk penanganan gajah jinak yang sudah dilatih untuk menangani gajah liar yang masuk pemukiman di daerah-daerah yang rawan konflik antara manusia dan satwa.
Kendati begitu permasalahan menjadi semakin kompleks. Dari sisi eksternal terkait dengan konflik manusia dengan satwa dan perburuan liar Gajah Sumatra untuk diambil gadingnya dan diperjualbelikan. Berdasarkan suatu studi menunjukan perdagangan online produk yang berasal dari gading gajah cukup tinggi. Pada tahun 2016 ditemukan sekitar 570 penjual online gading gajah yang teridentifikasi dengan penjual aktif ditemukan di Provinsi Jawa Tengah. Lalu, pada tahun 2019, dari tiga negara yaitu Indonesia, Vietnam dan Thailand menunjukan hanya negara Vietnam yang mengalami penurunan jumlah penjualan gading gajah.
Sementara dari sisi internal berkaitan dengan kondisi gajah yang ditangkap dan masuk ke dalam Pusat Latihan Gajah (PLG) yang dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi keberagaman genetik dan struktur populasi. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan aliran gen dan peningkatan “genetic drift” serta resiko perkawinan sesama keluarga (inbreeding). Perbedaan asal usul dari Gajah Sumatra yang berada di PLG juga dapat mempengaruhi keberagaman genetik dari satwa endemik Indonesia ini.
Dari studi yang dilakukan oleh tim dari FKH UGM bersama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan University of Liege, Belgium diketahui tingkat keragaman nukleotida yang rendah dan keragaman haplotipe ditemukan di wilayah Sumatra bagian utara (Provinsi Aceh dan Sumatera Utara) dan yang lain di wilayah selatan Pulau Sumatra. Hasil penelitian ini mengungkapkan distribusi haplotipe berdasarkan DNA mitokondria yang berbeda antara wilayah Sumatra bagian utara dan selatan. Rendahnya keragaman genetik pada populasi Gajah Sumatra jinak dapat berdampak buruk pada generasi Gajah Sumatra jinak yang ada di Lembaga Konservasi di masa depan. Disamping itu, hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi populasi dari Gajah Sumatra jinak ini mengalami tekanan inbreeding, hal ini disebabkan Gajah Sumatra berada pada populasi kecil di Lembaga Konservasi.
“Langkah-langkah pengelolaan Lembaga Konservasi di masa depan harus dikembangkan untuk mempertahankan keberagaman genetik dan mencegah inbreeding dari populasi Gajah Sumatra yang masih ada,” tegas Ketua Asosiasi Parasitologi Veteriner Indonesia (APARVI) ini.
Bentuk ancaman lain yang dapat mengganggu kesehatan gajah adalah penyakit infeksi dan non infeksi seperti pakan, keracunan, lingkungan dan sebagainya. Penyakit karena infeksi dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus dan parasit seperti cacing nematoda, trematoda ataupun cestoda. Melakukan kajian bersama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Wisnu dan tim terkait variasi dan analisis data genetik gajah jinak, serta penyakit infeksi dan non infeksi diketahui banyak penyakit infeksi yang dapat menyerang gajah Sumatra diantaranya yang disebabkan oleh infeksi penyakit parasit, bakteri, virus dan jamur. Penyakit parasit memegang peranan yang sangat penting mengingat gajah-gajah di alam bergantung pada pakan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di habitat dan lokasi sekitar penangkaran. Selain itu, iklim Indonesia sepanjang tahun dengan curah hujan di pulau Sumatra yang relatif tinggi menjadikan habitat yang sangat sesuai bagi pertumbuhan parasit-parasit pada gajah.
Ia mengatakan penelitian Gajah Sumatera ini perlu terus dilakukan untuk mengetahui bahaya penyakit yang dapat mengakibatkan kematian dan penurunan populasi gajah baik di alam maupun di tempat-tempat Pusat Penyelamatan Gajah. Berbagai data dan informasi dasar dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh UGM bersama mitra nantinya dapat menjadi landasan i dalam pengelolaan gajah jinak untuk mendukung kegiatan konservasi Gajah Sumatera di masa depan.
Penulis: Ika