Perkembangan teknologi AI kembali menimbulkan kontroversi baru di dunia pendidikan. Kemunculan website berbasis AI bernama ChatGPT memungkinkan penggunanya mengakses berbagai informasi dalam bentuk balon percakapan. Fenomena ini tentunya cukup meresahkan, karena berpotensi menjadi sarana kecurangan akademik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM sebagai unit bagian dari perguruan tinggi di Indonesia merespons isu ini melalui “Sarasehan Fisipol UGM Polemik Chat GPT: Bagaimana Perguruan Tinggi Harus Bersikap” pada Jumat (10/2).
“Fenomena ini tampaknya cukup mengagetkan kita, tapi sudah bisa diprediksi sebelumnya. Adanya perkembangan kecerdasan buatan ini bukanlah hal baru, bahkan sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat modern. Sebagai fenomena dan konsekuensi teknologi digital, semestinya bisa kita antisipasi,” ucap Dekan Fisipol, Wawan Mas’udi, S.Ip., MPA, Ph.D. Ia menjelaskan kemunculan ChatGPT yang dapat digunakan secara umum ini perlu ditindaklanjuti dengan bijak, karena tidak menutup kemungkinan perkembangan teknologi akan terus muncul dengan berbagai dampaknya.
ChatGPT baru-baru ini viral karena kemampuannya dalam membuat susunan kalimat sekelas karya tulis dengan data yang valid. Cara penggunaannya pun cukup mudah, hanya dengan mengetik pertanyaan di kolom chat, AI akan langsung memberikan jawaban beserta keterangan sumbernya. Bahkan, ChatGPT diperkirakan bisa memiliki hak cipta sebagai “penulis” dalam beberapa karya tulis resmi di masa depan. “Perlu adanya inovasi mengenai copyright atau authorship supaya bisa menempatkan teknologi ini dengan baik,” tambah Wawan.
“Salah satu hal yang juga menjadi concern biasanya adalah AI ini akan menggantikan pekerjaan-pekerjaan manusia. Kita akan kehilangan pekerjaan dan akan ada robot dan sistem yang menggantikan,” tutur Treviliana Putri, peneliti CfDS yang turut menjadi pembicara dalam sarasehan. Kondisi ini mendesak manusia untuk meningkatkan kemampuannya setara, atau bahkan di atas teknologi hanya untuk mempertahankan eksistensinya.
Agustina Kustulasari, S.Pd., M.A, Dosen Manajemen Kebijakan Publik UGM, menuturkan bahwa AI ChatGPT tetap memiliki pola dalam menyusun kalimatnya. “Ketika saya tanya apakah kamu bisa membuat esai?, ia tidak menjawabnya dengan memberikan esai, tapi memberikan overview dan argumen yang bisa menjadi dasar bagi esai. Begitupun dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya, menurut saya jawaban yang dia berikan itu sangat umum yang kebanyakan orang akan berpikir seperti itu,” ungkap Agustina.
Keberadaan AI memang ditujukan untuk mempermudah berbagai kegiatan manusia, maka tidak seharusnya AI diposisikan sebagai pengganti manusia. Sistem akan terus berkembang dan tetap memiliki batasan, sedangkan manusia bisa berkembang tanpa batasan dan akan terus mengembangkan teknologi.
Penulis: Tasya