Dosen jurusan ilmu komunikasi FISIPOL UGM Wisnu Martha Adiputra SIP MSi menegaskan, iklan politik yang gencar dilakukan di berbagai media sekarang ini sangat begitu menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan. Karena komunikasi politik dari partai politik dan kandidat menggunakan iklan yang cenderung mengutamakan janji bahkan membohongi, berlebihan dan bersifat primordialisme.
“Iklan di media cetak, misalnya, bukan membuat kita cerdas tapi membuat kita bingung. Untuk dua calon kandidat paling atas seperti berantem sendiri, saling menjawab dan saling mencerca, sedangkan teknis penyampaian iklan kalo saya bilang seperti penyampaian gaya makalah. Ada pernyataan yang dilengkapi dengan cacatan kaki dibawahnya. Ini menyedihkan sekali, jangankan masyarakat di pedesaan kita pun bingung melihat hal seperti itu,” kata Wisnu dalam Seminar Bulanan ‘Iklan Politik: Janji atau Bualan Calon Pemimpin?’ di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis (5/2) sore.
Menurut Wisnu, fenomena iklan yang tidak mendidik ini lanjut Wisnu juga terjadi dari iklan personal kandidat calon anggota legislatif yang bersifat sederhana sekalipun hingga iklan di media massa yang lebih kompleks. Di dalam semua iklan tersebut, kata Wisnu, janji-janji dari partai dan kandidat diumbar luar biasa, dengan klaim tanpa pembuktian.
“Toh, kalaupun ada pembuktian, maka pembuktian itu terlalu rumit dan masih bisa diperdebatkan dan memicu kontroversi,” cetusnya.
Selain itu, lanjutnya, iklan kandidat yang mengambil ruang publik selain secara teknis buruk juga terkesan norak dan dapat dipertanyakan eksistensinya. Bukan hanya itu saja, imbuhnya, pesan iklan yang seharusnya bersifat persuasif malah bersifat propaganda.
“Pesan yang seharusnya membuat orang tertarik malah membuat kita ingin menghindar. Bahkan, pesan yang seharusnya membuat masyarakat terinformasi atau bahkan tercerahkan malah membuat semakin ingin menghindari informasi itu dan terbodohkan. Sehingga tidak ada yang menarik dari iklan itu,” jelasnya.
Meski demikian, kata Wisnu, sebenarnya bila pesan iklan disampaikan dengan efektif dan elegan bukan tidak mungkin iklan menjadi pendorong yang kuat untuk membuat masyarakat memilih kandidat atau partai tersebut.
Diakui oleh penggiat kampanye literasi media di Pusat Kajian Media dan budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta ini, fenomena iklan politik yang belum bagus menjelang pemilu 2009 ini sebenarnya merupakan proses pembelajaran bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, hal yang sama juga pernah terjadi pada pemilu 1999 dimana konvoi dengan kendaraan bermotor dianggap sebagai bentuk kampanye yang paling efektif.
“Begitu pula penggunaan iklan politik dan debat di televisi pada pemilu 2004. Semuanya jika diperbaiki ada yang hilang dan ada yang dipercantik. Kini, konvoi kendaraan bermotor bukanlah bentuk kampanye paling penting, kalaupun ada cenderung bisa lebih diatur. Debat melalui media, tertutama di televisi menjadi lebih umum dan dengan format yang interaktif,” ujarnya.
Dalam pandangannya, tidak ada cara lain untuk membuat masyarakat tidak tertipu oleh iklan politik selain menjadikan masyarakat memiliki kecakapan bermedia yang memadai. Kampanye literasi media perlu lebih intens dilakukan, tidak hanya dalam keperluan memahami pesan politik, melainkan juga secara umum memberdayakan masyarakat dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas media.
Di samping itu, ia menyarankan juga agar masyarakat juga dapat melihat rekam jejak semua kandidat. Hal ini menurutnya sangat penting untuk menggerakkan masyarakat memilih calon pemimpinnya. Dirinya mencontohkan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika. Kemenangan Obama tersebut, kata Wisnu, dikarenakan masyarakat bisa mengakses dan mengetahui rekam jejak masa lalunya, sehingga jejak rekam Obama tidak bisa ditipu dari bagaimana ia bergerak dari bawah untuk mengembangkan masyarakat.
“Jejak rekamnya sungguh luar biasa. Kisah masa lalu dan prestasinya diutarakan berdasarkan penilaian orang lain, dan bahkan dari orang terdekatnya yang pernah mengenalnya,” katanya.
Meski demikian, lanjut Wisnu, penelusuaran jejak masa lalu seorang tokoh di indoensia tidak bisa dilakukan secara serta merta. Penelusuran jejak rekam di Indonesia yang jadi masalah, karena masyarakat tidak bisa secara serta merta dapat mengakses jejak rekam masa lalu seorang kandidat.
“Seharusnya ini bisa diangkat, meskipun nantinya terlacak belum tentu bisa digunakan untuk menghentikan atau memberikan wacana tandingan untuk tokoh itu,” jelasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)