Indonesia membutuhkan pemimpin berkarakter kebangsaan yang kuat, baik dari tingkat bawah sampai tingkat Presiden. Ketua Majelis Luhur Tamansiswa, Prof. Sri Edi Swasono mengatakan saat ini yang dibutuhkan adalah pemimpin bangsa yang mampu membangun konsensus. Ia menyayangkan perilaku calon pemimpin saat ini yang lebih mementingkan koalisi dan mencari platform.
“Pemimpin yang besar itu yang mampu membentuk konsensus bukan mencari konsensus,” tegas Sri Edi Swasono dalam acara seminar bertajuk “Peran Bupati/Walikota dalam Kepemimpinan Nasional Berdasarkan Pancasila” Kamis (8/5) di University Club UGM.
Sri Edi menegaskan Pancasila harus menjadi ruh bangsa Indonesia sehingga dapat menyatukan seluruh elemen perbedaan yang ada. Indonesia, menurutnya memiliki karakter demokrasi tersendiri. Sri Edi menyebutnya sebagai demokrasi konsensus yang mengedepankan musyawarah mufakat.
“Yang terjadi saat ini justru demokrasi voting, karena voting inilah rezim yang berkuasa isa merampok negara,” paparnya.
Ia mencontohkan terdapat 748 permohonan gugatan review UU ke Mahkamah Konstitusi. Dari jumlah tersebut 126 diantaranya dikabulkan. Hal ini, menurut Sri Edi, menunjukkan bahwa anggota dewan membuat peraturan yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus maka akan merugikan bangsa Indonesia.
“Jika terus terjadi, maka preman-preman akan ikut menduduki kekuasaan negara, tanpa visi, tanpa misi dan bertengger dalam pemerintahan,” tegasnya
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis MH mengisahkan pengalaman empirisnya selama menjadi gubernur. Cornelis mengatakan bahwa kasus-kasus yang menimpa kepala daerah di Indonesia bukan hanya karena kesalahan pribadi namun juga UU yang tidak jelas.
“Saya tahu bahwa UU dibuat by order. Tidak hanya itu, UU juga kadang bersifat karet,” terangnya.
Sementara itu Guru Besar Sosiologi UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, MA menilai saat ini banyak elit politik yang lebih sering menggunakan partai politik sebagai instrumen untuk kepentingan kekuasaan atau kekayaan pribadi daripada menyuarakan kepentingan rakyat. Menurut Tadjuddin dalam situasi seperti ini Pancasila sebagai ideologi negara nyaris tidak terdengar dalam khasanah kehidupan politik.
“Saya menangkap bahwa masyarakat saat ini mengalami kegalauan dalam mencari figur pemimpin,” paparnya (Humas UGM/Faisol)