YOGYAKARTA – Demokratisasi yang berlangsung lebih dari 15 tahun kini justru mengalami kemunduran akibat sikap mayoritas anggota DPR yang mengesahkan RUU Pilkada dengan menarik pemilihan kepala daerah dalam otoritas DPRD. Sikap para politisi di Senayan yang mengambil alih hak konstitusional rakyat menurut pada pengamat politik berisiko semakin elitisnya demokrasi. “Alih-alih bukan demokrasi substansial yang diwujudkan justru elitisasi prosedur demokrasi,” kata Sosiolog UGM, Dr. Arie Sudjito, saat dimintai tanggapannya pasca disahkannya UU Pilkada, Jumat (26/9).
Menurut Arie, para politisi senayan tidak memikirkan dampak yang akan ditimbulkan pilkada oleh DPRD yang begitu besar, yakni membatasi akses rakyat berpartisipasi dan mengontrol kekuasaan karena pilkada akan diwarnai transaksional kekuasaan antara politisi di parlemen dengan kandidat tanpa bisa diawasi rakyat. “Cara pemilihan lewat DPRD ini akan menyuburkan praktik korupsi. Dampaknya DPRD dan kepala daerah tidak menutup kemungkinan memanfaatkan APBD untuk ajang berburu rente,” ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, imbuhnya, makin tertutupnya akses masyarakat mendapatkan hak dipilih menjadi pemimpin daerah melalui mekanisme calon independen, soalnya kekuasaan kemungkinan makin eksklusif sebagai kawasan otoritas parpol. “Pilkada oleh DPRD melanggengkan patronase politik, demokrasi disandera oligarki parpol dan parlemen, sehingga membentuk kubu-kubu pemburu kuasa,” katanya.
Pengamat Politik dari Jurusan Politik dan Pemerintah (JPP) UGM, Dr. Mada Sukmajati menilai pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya tidak melanggar demokrasi dan bersifat konstitusional. Namun yang menjadi persoalanannya terletak dari sisi proses pengambilan kebijakan, karena tidak ada perdebatan substansial di parlemen dan di masyrakat mengenai dikembalikannya pemilihan kepala daerah lewat DPRD. “Secara konstitusi tidak ada yang dilanggar, tapi dari sisi proses sampai UU Pilkada ini disahkan sangat problematik dan hanya bersifat prosedural. Dibahas intensif 2 bulan ini pasca pilpres,” katanya.
Mada sependapat bahwa dikembalikannya pilkada lewat DPRD adalah sebuah bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia. Bahkan menjadi kemunduran dari desentralisasi otonomi daerah. “Satu poin penting, diberlakukannya otonomi daerah itu terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal. Sehingga hal ini menjadi sangat problematik,” katanya.
Mada bahkan secara tegas mengatakan revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau,” terangnya.
Belajar dari UU Pilkada ini, Mada mengingatkan bahwa tidak menutup kemungkinan akan ada poses pengambilan kebijakan publik yang terburu-buru dan tidak berdasar dari hasil studi empiris. “Tidak bagus untuk perdebatan di kalangan rakyat. Dimensi pembelajarannya sangat rendah. Proses pengambilan kebijakan seperti ini sangat bias kepentingan elit,” katanya.
Sementara pengajar Ilmu Komunikasi UGM sekaligus Direktur Lembaga Survei Indonesia, Kuskridho Ambardi, mengatakan elit partai di kubu koalisi merah putih telah membajak hak suara rakyat dengan menyorongkan revisi terhadap undang-undang pilkada. “Tidak ada dalam kampanye legislatif dan kampanye presiden agenda mereka untuk mengubah UU Pilkada. Jadi, kalau mereka mengklaim rakyat meminta, saya kira itu cuma dalih politik untuk pembajakan,” terangnya.
Secara prosedural, kata Dodi, panggilan Kusridho Ambardi, keputusan itu harus diterima. Tapi upaya lain bisa dilakukan, yakni mengajukan judicial review ke MK terkait argumen dari kelompok pro-pilkada DPRD mengenai cara penafsiran mereka terhadap UU pemilihan kepala daerah. “Penafsiran itu bisa diuji melalui MK. Kalau penafsiran mereka hanya terhadap Pancasila dan UUD, berarti mereka juga harus meninjau ulang pilpres,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)