Untuk memetakan dampak longsor Banjarnegara beberapa waktu lalu, Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik UGM memanfaatkan pesawat tanpa awak (unmanned aereal vehicle, UAV ) guna melakukan pemetaan melalui pemotretan udara. Dengan memanfaatkan UAV yang dikendalikan dengan pengendali jarak jauh, ini Tim Teknik Geodesi UGM berhasil memetakan kawasan longsor seluas kurang lebih 600 Ha.
Pesawat yang dilengkapi dengan kamera, ini memotret kawasan terdampak longsor untuk selanjutnya diolah secara fotogrametris sehingga menghasilkan informasi yang tidak saja jelas secara visual namun juga teliti secara geometris. Sementara itu, peta yang dihasilkan pemotretan dari udara dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis lebih lanjut.
“Dengan perangkat yang lengkap, Tim Teknik Geodesi UGM sudah siap di lokasi longsor semenjak tanggal 19 Desember 2014 lalu bersama Pusat Studi Bencana Alam UGM, Tim dari Lapan dan tentu saja BNPB”, ujar Ruli Andaru, S.T, M.Eng, di Kampus UGM, (5/1) menjelaskan.
Meskipun medan sangat tidak bersahabat untuk pelaksanaan pemetaan, kata Ruli Andaru, tim memutuskan untuk tetap mengusahakan yang terbaik. Untuk memperoleh hasil yang akurat secara geometris, tim memasang titik-titik kontrol di beberapa tempat di sekitar lokasi dan mengukur koordinat mereka dengan alat Global Positioning System atau GPS tipe geodetik.
“Ini yang membuat gambar yang dihasilkan dari pemotretan tidak saja jelas secara visual tetapi juga teliti secara geometris. Dengan perjuangan yang berat, tim berhasil melakukan tugas dengan baik di tengah cuaca yang tidak bersahabat”, papar Ruli selaku Ketua Tim Geodesi UGM.
Lebih lanjut, Ruli menjelaskan UAV tim Teknik Geodesi UGM berhasil mengudara dalam beberapa hari hingga tanggal 21 Desember untuk memotret semua kawasan terdampak longsor. Pemotretan dilakukan dengan pesawat UAV jenis trainer electrik dengan APM Ardu pilot pengendalian otomatis.
Durasi sekali terbang selama 25 menit dengan ketinggian jelajah 500-700m di atas permukaan lokasi dampak longsor. Peralatan UAV yang sudah dilengkapi dengan sistem live view, ini ditransmisikan ke perangkat tayang yang ada di lokasi, sehingga tim bisa melihat secara langsung area yang direkam oleh sensor kamera pada pesawat saat terbang.
“Selama tiga hari perekaman, total jumlah foto yang diperoleh adalah 700 lembar yang saling bertampalan. Sebelum dilakukan pemotretan, terlebih dahulu kita merencanakan jalur terbang sebagai panduan arah bagi pesawat sehingga sistem pengendalian otomatis akan mengatur arah dan pergerakan pesawat sesuai dengan jalur yang sudah dibuat”, katanya.
Andaru menambahkan, pengolahan data foto yang direkam dengan UAV menghasilkan peta orthophoto dengan resolusi spasial 20 cm. Artinya, ukuran terkecil yang masih bisa diamati dengan peta tersebut adalah 20 cm.
Hasil ini merupakan resolusi yang sangat baik. Sebab analoginya resolusi ini lebih baik dibandingkan gambar permukaan bumi yang disajikan oleh Google Earth atau Google Maps.
Selain peta visual, pemotretan ini menghasilkan pula Digital Elevation Model alias DEM yang merupakan model Permukaan bumi kawasan terdampak longsor. Model tersebut jika dikonversi menjadi format tertentu yang disebut keyhole markup language (KML), maka bisa ditampilkan di Google Earth.
“Dengan perhitungan dan asumsi tertentu, tim Teknik Geodesi UGM mengungkapkan tinggi tebing yang longsor kisaran 85 meter. Meskipun untuk menghitung estimasi volume longsoran, saya mengaku masih diperlukan data sebelum longsor. Sayangnya data yang tersedia saat ini dianggap masih kurang ketelitiannya. Meski begitu, analisis tetap bisa dilakukan dengan catatan bahwa ketelitiannya masih bisa ditingkatkan. Hanya saja dengan memperhitungan menggunakan data yang ada dan beberapa asumsi yang masuk akal, kemungkinan volume longsor sekitar 1 juta m3 dengan luasan area longsoran sekitar 74 ribu m2 “, jelasnya lagi.
Sementara itu, Ketua Jurusan Teknik Geodesi UGM, Dr. Djurdjani memberi apresiasi kepada Tim UAV Teknik Geodesi yang telah memberikan sumbangsih disiplin Geodesi dan Geomatika dalam memberi solusi atas bencana yang terjadi di Banjarnegara. Kegiatan merupakan inisiatif sendiri dengan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.
“Semua dilakukan secara swadaya Jurusan Teknik Geodesi UGM. Kita berharap data dan informasi yang diperoleh oleh tim bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan untuk bisa menghasilkan solusi yang komprehensif”, tutur Djurdjani. (Humas UGM/ Agung)