Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat, sementara pasokan energi terbatas. Keterbatasan pasokan listrik, bahan baku minyak tergantung impor, kesulitan air atau kekeringan menjadi permasalahan ketahanan energi, dapat mengurangi nilai ekonomi dan lingkungan. Hal ini mengemuka dalam diskusi tentang Ketahanan Energi dan Kontribusi Daerah Dalam Mewujudkan Nawa Cita Jokowi-JK di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, Selasa (31/3). Diskusi tersebut menghadirkan peneliti madya LEMIGAS (lembaga minyak dan gas bumi), Djoko Sunaryanto.
“Tren penurunan produksi bisa dilihat sekitar tahun 2004, sedangkan konsumsinya naik. Ini yang perlu diiringi dengan upaya kebijakan dan ketahanan energi,” papar Djoko.
Ia menjelaskan kontribusi daerah dalam penanganan lingkungan hidup–perencanaan sampai pascakegiatan pengembangan energi– sebagai upaya penting memperbesar dampak positif dan memperkecil dampak negatif. Kawasan pengembangan energi memberi kontribusi yang signifikan pada peningkatan ketahanan energi daerah dan nasional.
“Masih diperlukan upaya lain penyiapan energi dan peningkatan ketahanan energi agar bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan,” paparnya.
Pada kesempatan itu Djoko juga memaparkan adanya sinergi antara pemerintah daerah dengan Kementerian ESDM, khususnya monitoring dan evaluasi pasca penanganan reklamasi pertambangan. Hal ini penting sebagai upaya untuk memperbesar dampak positif, menciptakan pertambangan secara berkelanjutan serta menciptakan kawasan kutub atau pusat pertumbuhan ekonomi.
Djoko juga kembali mengetengahkan beberapa tantangan dalam tata kelola dan ketahanan energi di Indonesia, seperti kondisi tata kelola pemerintahan, kualitas lembaga, sistem multi partai, otonomi daerah serta kepastian hukum.
“Disini sebenarnya diperlukan dokuen ketahanan energi sebagai salah satu basis utama perencanaan pembangunan nasional. Sayangnya, Indonesia belum punya dokumen resmi tentang ketahanan energi nasional,” pungkas Djoko. (Humas UGM/Satria)