Jagat media sosial telah banyak menuai isu menarik dalam dunia komunikasi. Jelang tahun politik 2024, media gencar diwarnai adanya kampanye-kampanye partai dan diskusi publik terkait tokoh politik. Kebebasan berekspresi dalam politik turut disorot oleh Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada. Melalui seri DISKOMA #7 bertema “Pemaknaan atas Ekspresi Pejabat Masa Kini di Media Sosial” pada Selasa (27/6), ahli ilmu komunikasi membahas tuntas dinamika politik dan publik di media sosial.
“Media baru di wilayah komunikasi interpersonal ini, yang kita kenal dengan media sosial sebenarnya bisa meliputi banyak hal lain. Melalui media sosial, kita bisa melakukan semuanya. Bersosialisasi, berpartisipasi dalam politik, menggantikan penyiaran, dan lain-lain,” ucap Wismu Marta Adhiputra, S.I.P., M.Si. Media sosial bukan lagi arena untuk adu pendapat, namun sudah menjadi ajang penggiringan opini, ujaran kebencian, bahkan polarisasi politik.
Wisnu juga mengungkapkan, media sosial telah banyak mengubah cara komunikasi dalam politik. Jika dulu pesan politik disampaikan secara terang-terangan melalui propaganda dan kampanye, saat ini justru agenda politik masuk ke berbagai informasi publik. Meskipun begitu, media sosial juga tidak terlepas dari maraknya peredaran informasi palsu, seperti fake science. “Kita tahu dalam sebuah riset mengatakan bahwa Indonesia dan Kazakhtan adalah ladang fake science terbesar di dunia ya. Banyak sekali hoaks-hoaks beredar yang masih di percaya publik, bahkan sekelas tokoh publik sendiri,” tutur Wisnu.
Selain tersebarnya hoaks, isu di ranah politik yang banyak dibahas baru-baru ini adalah gaya hidup dan ekspresi pejabat di media sosial. Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comm., Ph.D sebagai pemerhati komunikasi politik di media digital mengungkapkan bagaimana sikap publik terhadap gaya hidup pejabat dikaitkan dengan isu korupsi. “Adanya aturan bahwa pejabat dianjurkan memiliki gaya hidup sederhana ini menarik. Kalau menurut saya justru pamerlah harta sebanyak mungkin untuk pejabat publik justru supaya ketahuan mereka korupsi apa engga. Karena yang menjadi persoalan adalah apakah harta mereka dari uang rakyat atau bukan. Justru kalau banyak yang pamer, bisa ditelusuri,” ungkap Desi.
Melalui fenomena tersebut, publik banyak menarik kesimpulan dari gaya hidup pejabat yang berpengaruh pada pandangan terhadap kredibilitas pejabat tersebut. Ujaran kebencian banyak dilontarkan sebagai bentuk ekspresi dan pendapat publik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) telah memberikan banyak regulasi terkait kebebasan berpendapat. Menurut Wisnu, UU ITE tidak seharusnya membatas publik untuk melontarkan kritik terhadap tokoh publik, sehingga membatasi kebebasan berbicara, karena justru itulah bentuk demokrasi dan kepedulian publik terhadap kondisi politik Indonesia.
Penulis: Tasya