Universitas Gadjah Mada menggelar Webinar Health Promoting University (HPU) bertajuk Mewujudkan Kampus yang Bebas dari Perundungan, Kamis (6/11), bagi dosen dan tenaga kependidikan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Seminar ini diselenggarakan untuk mendukung upaya UGM mewujudkan kampus yang aman dan nyaman, sesuai dengan pendekatan kampus sehat.
“Kita ingin mewujudkan kampus yang aman, nyaman, dan membahagiakan, tidak ada perundungan. Semoga apa yang disampaikan bisa memberikan manfaat dan informasi tambahan yang bisa disebarkan lebih lanjut di tingkat fakultas maupun universitas,” ucap Ketua HPU UGM, Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si.
Webinar ini menghadirkan tiga orang pembicara yaitu Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Dr. Chatarina Muliana, S.H., S.E., M.H.; Sosiolog UGM, Desintha Dwi Asriani, S.Sos., M.A., Ph.D.; serta Ketua Pokja HPU Zero Tolerance pada Kekerasan, Perundungan, dan Pelecehan, Sri Wiyanti Eddyono, S.H.,LL.M.(HR).,Ph.D.
Chatarina menerangkan bahwa perundungan merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan tinggi di samping kekerasan seksual dan intoleransi. Perundungan dapat memberikan dampak yang luar biasa tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi perguruan tinggi.
Oleh karena itu, menurutnya kampus perlu menaruh perhatian terhadap kasus perundungan dan menyediakan sistem pendukung untuk penanganan perundungan di kampus. Dukungan yang dimaksud, terangnya, meliputi aspek tata kelola penanganan, dukungan kepada korban, hingga pemberian sanksi.
“Kita tidak bisa menganggap kasus perundungan masalah yang simpel dan menjadi bagian dari budaya kita. Ini merupakan pelanggaran asas dan prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama Desintha memberikan paparan terkait fenomena perundungan di kalangan remaja, termasuk salah satunya tren perundungan siber. Ia juga berbicara terkait fenomena perundungan dalam perspektif sosiologi dan gender, serta mekanisme struktural dan mekanisme kultural dalam penanganan dan perlindungan kasus perundungan yang kerap berbenturan.
“Ini yang sering kali menjadi dilema, ada hukum formal yang sifatnya memaksa dan universal, tapi juga ada situasi dalam masyarakat yang secara kultural dipakai juga. Menemukannya seperti apa, ini yang sering kali menjadi tantangan,” ucap Desintha.
Dalam sesi paparan terakhir, Sri Wiyanti memaparkan temuan Survei Persepsi Perundungan UGM 2022 serta rencana aksi strategis bagi dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan UGM. Di samping proses penanganan, menurutnya yang menjadi cukup penting adalah upaya-upaya untuk mencegah terjadinya perundungan. “Lebih baik kita mencegah daripada kita menangani. Dan mencegah itu harus kita lakukan secara masif,” tegasnya.
Penulis: Gloria