Konflik tanah antara masyarakat, pemerintah, dan industri seolah tak kunjung menemui titik terang. Kepemilikan lahan secara adat, tanpa adanya sertifikat resmi seringkali menjadi alasan bagi perusahaan untuk mengambil tanah masyarakat. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah ini telah melewati proses yang panjang, bahkan bertahun-tahun. Salah satu perjuangan pun digagas oleh Bu Kawit, salah satu saksi berbagai penggusuran yang dituangkan dalam buku berjudul “Catatan dari Orang Kecil untuk Orang Kecil”.
“Tahun 2007 itu saya melihat tujuh rumah dirobohkan dengan alat berat. Warga masih utuh semua, dan perobohan itu ditujukan untuk sampel penggusuran Parangtritis. Setelah itu tahun 2008, di sebelah baratnya Karangbolong, ada juga penggusuran. Itu ratusan rumah yang digusur dan belum dikasih tempat untuk berpindah. Selanjutnya di Parangkusumo, itu juga ada 117 rumah yang tergusur. Tapi warga berpikiran, melawan juga kalah akhirnya warga memilih dibongkar sendiri dengan diberi ongkos bongkar 1.300.000,” ucap Bu Kawit saat mengawali ceritanya dalam diskusi buku bersama Fakultas Hukum UGM pada Kamis (21/9).
Bu Kawit memulai perjuangan meraih hak atas tanah warga dengan membentuk organisasi Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP). Sebanyak 11 organisasi mahasiswa diakuinya telah mendukung ARMP, dengan ikut berunjuk rasa di kantor Gubernur DI Yogyakarta. “Setelah itu, saya mendengar ada surat lagi masuk, perintah bongkar yang katanya merupakan proyek restorasi Gumuk Pasir. Gerakan tersebut semakin sulit dengan munculnya sentimen pesimis dari sesama warga. Melihat tidak adanya hasil dari apa yang dituntut warga selama ini, banyak warga yang cenderung menyerah dan susah payah mencari tempat tinggal.
“Saya dulu itu punya cita-cita, kalau saya jadi orang kaya saya mau bangun musala. Sekarang ini saya punya sanggar khusus untuk anak-anak kurang mampu di sekitar tempat tinggal saya. Tapi melihat kondisi yang sekarang ini saya jadi ingin berjuang lebih untuk mendapatkan hak-hak masyarakat ini. Sampai pada saat itu organisasi ARMP mendapat dukungan dan bahkan ada usaha untuk membubarkan organisasi,” ungkap Bu Kawit. Ia berprinsip, organisasi yang didirikannya harus murni dari warga dan tidak perlu ditunggangi oleh partai politik manapun.
Rikardo Simarmata, Pakar Hukum Adat UGM, mengungkapkan berbagai pembangunan seringkali melupakan aspek lain dari lahan itu sendiri, seperti aspek sejarah dan spiritual dari masyarakat adat. “Indonesia ini sebenarnya sudah siap dengan konsep-konsep yang menghadapi sesuatu yang mengancam manusia, dan mengancam alam. Nah, yang mengancam alam ini sebenarnya yang baru berkembang. Bebaskan orang dari ancaman abuse of power atau kekuasaan politik. Jadi, kalau ada konflik tanah itu harusnya jangan hanya dipikirkan, pihak ini dapat apa pihak itu dapat apa. Tapi alam juga harus menjadi pertimbangan,” ucapnya
Kasus Bu Kawit dan organisasi ARMP hanyalah satu dari beribu-ribu kasus sengketa tanah yang terus menemui jalan buntu. Konflik relasi kuasa, penekanan atas satu pihak ke pihak lainnya, dan tidak adanya kepastian hukum menjadi hambatan utama dalam penyelesaian kasus. Kajian hukum agraria perlu ditinjau lebih lanjut untuk dapat memberikan hak yang setara bagi seluruh pihak, tanpa harus memunculkan gerakan-gerakan perjuangan tak berujung dari masyarakat.
Penulis: Tasya