Usai penghelatan upacara wisuda, ribuan wisudawan beranjak dari kursinya untuk antri berfoto di depan panggung wisuda di Grha Sabha Pramana UGM. Beberapa diantaranya berjalan menuju pintu keluar gedung. Namun di tengah kerumunan itu, nampak Alexander Farrel Rasendriyo Haryono (22) masih duduk di kursinya. Ia ditemani oleh dua rekannya. Farrel, demikian ia akrab disapa, tengah menunggu kedua orang tuanya turun dari anak tangga balkon untuk menjemputnya.
Tidak berselang lama, Ibunda Farel, Emil Tri Ratnasari, umur 48 tahun, datang menghampiri. Saat itu kedua temannya berpamitan. Sang Ibunda menuntun anak sulungnya dan seraya memintanya berpose sebentar mengabadikan foto membelakangi panggung wisuda.
Farrel merupakan salah satu dari 1.609 lulusan sarjana UGM yang diwisuda program sarjana di Grha Sabha Pramana UGM, Kamis (24/8). Meski memiliki keterbatasan pada indera penglihatan, namun tidak mengalahkan semangat Farrel untuk lulus tepat waktu di Fakultas Hukum. Bahkan ia pun lulus dengan predikat cumlaude karena memiliki nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,74.“Senang sekali mas, bisa selesai tepat waktu, empat tahun,” kata anak sulung dari tiga bersaudara asal Klaten ini.
Farrel bercerita ia tidak mengalami banyak kendala selama mengikuti perkuliahan karena para dosen selalu mengirim soft file saat kuliah daring. Lalu, saat berlanjut kuliah tatap muka, ia selalu rajin mencatat apa yang disampaikan dosen di depan kelas. “Kebetulan dosen-dosen selalu membagi materi pembelajaran. Selama kuliah, saya mencatat,” ujarnya.
Saat ujian, kata Farrel, ia ditempatkan dalam ruangan khusus. Melalui sebuah aplikasi khusus, ia bisa mengetahui soal-soal ujian yang ditanyakan, selanjutnya ia mengerjakan jawabannya dengan cara mengetik di laptop.
Begitu pun dengan pengerjaan tugas skripsi. Farrel mengaku melakukan hal yang sama dengan mahasiswa lainnya seperti riset dan wawancara langsung dengan responden. “Sama dengan mahasiswa yang lain, saya menulis, riset, dan wawancara,” katanya.
Adapun tema skripsi yang dipilih Farrel berkenaan soal hukum pajak penghasilan bagi penyandang disabilitas. “Kesimpulan dari skripsi tersebut adalah diperlukan ketentuan khusus penerapan pajak penghasilan bagi penyandang difabel. Sebab, secara ekonomi mereka memiliki pengeluaran lebih besar dibanding dengan non difabel,” paparnya.
Bagaimana mobilitasnya saat empat tahun kuliah di Fakultas Hukum UGM? Farrel bersyukur banyak dibantu oleh rekan kuliahnya. Dari rumah ia memesan ojek daring untuk berangkat ke kampus. Bila sudah sampai di pintu gerbang, rekan kuliahnya sudah menunggu untuk mengantarnya masuk ke dalam kelas. “Sampai kampus janjian sama teman sudah ada yang jemput. Lalu, saya diantar ke kelas. Begitu juga janjian dengan dosen, selalu diantar,” kenangnya.
Sang Ibunda, Emil Tri Ratnasari, mengaku senang dan bangga anak sulungya berhasil menyandang gelar sarjana. Selama prosesi wisuda, ia menangis haru saat melihat Farrel dari kejauhan menerima ijazah.
“Aduh, mewek terus di atas (balkon). Pokoknya bangga. Perjuangannya sungguh luar biasa, semoga sukses terus kedepannya,” harapnya.
Emil bercerita bahwa sejak kecil Farrel termasuk anak yang rajin belajar dan tidak suka mengeluh. Selalu memiliki tekad kuat untuk memiliki impian yang sama dengan temannya yang normal. “Dari kecil tidak mengeluh. Pokoknya ia selalu ingin sama dengan temannya,” katanya
Usai menyandang gelar Sarjana Hukum, Farrel mengaku berencana melamar pekerjaan yang sesuai dengan profesinya di bidang hukum apalagi ia memiliki ketertarikan pada hukum pajak. “Setelah ini, saya mau lamar kerja dulu, mungkin 2-3 tahun lagi mau daftar pendidikan S2,” pungkasnya.
Penulis/Foto : Gusti Grehenson