Hiperglikemia masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut International Diabetes Federation (2021), Indonesia menempati peringkat dua sebagai negara dengan penderita hiperglikemia terbanyak yaitu 19,5 juta penderita. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga 28,6 juta penderita pada tahun 2045.
Sementara luka kronis akibat hiperglikemia berpotensi mengalami infeksi yang dapat berakibat pada amputasi, bahkan kematian. Luka kronis berpotensi terinfeksi bakteri, salah satunya didominasi oleh Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang telah dinyatakan resisten terhadap antibiotik.
Kondisi tersebut mendorong mahasiswa UGM mengembangkan alternatif terapi untuk menangani luka kronis hiperglikemia. Selain itu juga terapi untuk mengatasi resistensi antibiotik MRSA dengan nilai yang lebih ekonomis dan efektif.
“Kami memanfaatkan senyawa kurkuminoid dan Collagen Marine Peptides (CMPs) untuk terapi luka hiperglikemia terinfeksi MRSA,”terang Ketua tim peneliti, Dwi Ardyan Syah Mustofa.
Ide ini digagas oleh Dwi Ardyan yang merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) bersama empat orang rekannya, yakni Farhan Dio Sahari (FKH), Syifa Aulia Pramudani (FKH), Alifia Brilliani Hidayah (Fakultas Farmasi), dan Shabrina Farras Tsany (FKKMK) di bawah bimbingan Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia. Riset ini merupakan bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Eksakta (PKM-RE) yang memperoleh pendanaan dari Kemendibudristek dan berhasil lolos dalam kompetisi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2023.
Dwi Ardyan menjelaskan luka yang dialami penderita diabetes akan semakin parah dan sembuh lebih lama. Luka kronis hiperglikemia terinfeksi MRSA dapat diobati dengan pembedahan dan pemberian antibiotik. Namun, pembedahan cenderung menjadi solusi terakhir karena membutuhkan banyak biaya. Sedangkan pemberian antibiotik sudah tidak lagi efektif karena sifat resistensi antibiotik yang dimiliki MRSA.
“Dampak dari resistensi antibiotik adalah meningkatnya biaya perawatan karena antibiotik lini pertama sudah tidak mampu lagi mengatasi bakteri yang menginfeksi. Selain itu, durasi penyakit tentunya juga akan bertambah panjang, bahkan dapat menyebabkan kematian,”paparnya.
Pemanfaatan kurkuminoid sebagai salah satu formula untuk terapi luka hiperglikemia karena di dalamnya mengandung senyawa antibakteri sehingga dapat menggantikan fungsi antibiotik. Sementara itu, pemilihan CMPs dilakukan karena dapat mempercepat penyembuhan luka.
“Sumber kolagen yang kami gunakan berasal dari ikan dan kehalalannya telah tersertifikasi sehingga dapat digunakan untuk kaum Muslim,” jelasnya.
Kurkuminoid diformulasikan dalam bentuk nanoemulsi untuk meningkatkan efisiensi absorpsi sehingga dapat memberikan efek yang lebih optimal. Kemudian, CMPs dan nanoemulsi kurkuminoid dikemas dalam bentuk hidrogel yang dapat memberikan kenyamanan bagi para penggunanya karena dapat memberikan efek mendinginkan yang kemudian disebut sebagai Hydrolacin-Gel.
Sementara Farhan menjelaskan bahwa nanoemulsi kurkuminoid yang dibuat telah melewati pengujian untuk mengevaluasi ukuran partikel dan homogenitasnya. Hasil evaluasi nanoemulsi menggunakan Malvern MasterSizer Instrument menunjukkan bahwa ukuran partikel nano yang terbentuk adalah sebesar 14,68 nm dengan polydispersity index (PDI) sebesar 0,389. Hasil PDI tersebut menunjukkan bahwa ukuran partikel pada nanoemulsi kurkuminoid kami tersebar dengan merata atau homogen.
“Kurkuminoid merupakan senyawa yang tidak larut air. Sifat ini menjadi batasan kurkumin untuk dapat menembus lapisan kulit terluar (stratum corneum) sehingga formulasi berbasis air yang dapat melepaskan obat secara terkendali seperti halnya nanoemulsi merupakan pendekatan yang baik untuk penyembuhan luka kulit,” ucapnya.
Syifa menambahkan untuk mengetahui efektivitas Hydrolacin-Gel diujicoba pada luka biopsi pada tikus Wistar yang telah diinfeksikan bakteri MRSA dan diinduksi hiperglikemia. Perlakuan ini dilakukan selama 14 hari dengan pengolesan sebanyak 1 kali saat pagi hari. Kemudian, pengamatan dilakukan terhadap efektivitas Hydrolacin-Gel dalam mengurangi stres oksidatif pada tikus akibat inflamasi. Pengamatan histopatologi juga dilakukan untuk melihat tingkat reepitelisasi, infiltrasi limfosit, dan proliferasi jaringan ikat. Hasilnya, Hydrolacin-Gel memberikan hasil yang baik dalam proses penyembuhan luka kronis hiperglikemia terinfeksi MRSA.
“Riset kami menunjukkan bahwa Hydrolacin-Gel memiliki aktivitas antibakteri terhadap MRSA. Luka pada tikus yang diberi Hydrolacin-Gel juga menunjukkan kesembuhan yang baik untuk luka kronis hiperglikemia,” paparnya.
Penulis: Tim PKM; Editor: Ika
Foto: Tim PKM