Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut justru berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah. Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.
Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum UGM mengupas tuntas konflik sengketa Pulau Rempang dalam diskusi bertajuk “Konflik Rempang: Memahami dari Berbagai Sudut Pandang” pada Sabtu (23/9). Menurut Praktisi Hukum Spesialis Bidang Properti dan Sumber Daya Manusia, Evander Nathanael Ginting, konflik Rempang memunculkan isu hak tanah, hak asasi manusia, serta kepentingan investasi pemerintah. “Jadi, di sini tanah adat mereka mau dibikin semacam Rempang Eco City. Dan di situ akan ada berbagai bentuk usaha, seperti pabrik, properti, akan dibangun di sana. Tapi dengan catatan, masyarakat adat diminta untuk keluar dari daerah itu. Nah, tentunya masyarakat adat di Rempang jelas tidak terima karena merasa tidak adil, hak asasi mereka diganggu gugat di sana,” ucapnya.
Setidaknya terdapat dua masalah utama dalam konflik ini. Pertama, masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Kemudian pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi, tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor. Kedua, kewenangan atas pengelolaan lahan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Sayangnya, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, hingga menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.
“Batam ini bertetangga dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dan juga memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK) yang memberikan insentif fiskal dan fasilitas bagi investor. Jadi, di sini ada semacam keuntungan kalau kita berdagang di Batam. Tidak pernah ada kejadian gempa juga di Batam, jadi orang mau berinvestasi di Batam itu merasa aman,” tambah Evan. Pulau Batam menawarkan peluang investasi yang besar, bahkan dijanjikan juga masyarakat akan diberdayakan sebagai tenaga kerja jika proyek Rempang Eco City ini dapat terwujud. Alhasil, masyarakat pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu masyarakat adat yang benar-benar menentang pembangunan, dan masyarakat mayoritas pendatang yang justru setuju dengan proyek tersebut.
Jika menilik dari segi legalitas hukum akan pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 telah menjelaskan otorisasi tersebut. Dijelaskan bahwa hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut. Pihak tersebut nantinya diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah. Lalu, pada tahun 1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang pada otoritas Batam untuk dikelola dan memajukan industri Batam.
“Setelah itu, mulai masuklah PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004, di mana DPRD Batam itu memberikan rekomendasi, bahwa PT ini dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam. Dari rekomendasi ini, ada nota kesepakatan bahwa Pemerintah Batam setuju kalau PT. Makmur Elok Graha akan mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang. Tapi perlu digarisbawahi, kesepakatan ini dinyatakan bahwa PT. MEG akan membangun pusat-pusat hiburan, perkantoran, permainan, yang berbeda dengan wacana sekarang,” ucap Reggy Dio Geo Fanny, selaku Penasehat Hukum yang turut mengulik Konflik Rempang ini.
Ia menambahkan, sempat ada usaha pemisahan otoritas Kota Batam dengan pulau tua, seperti Rempang dari otoritas BP Batam oleh Walikota Batam. Tapi upaya tersebut tidak ada tindak lanjut, hingga pada tahun 2023 dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan adanya proyek pembangunan Eco City di Kepulauan Riau. Adanya legalitas tersebut mengisyaratkan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pembangunan proyek industri di Pulau Batam oleh PT. Makmur Elok Graha. “Tentu perlu diperhatikan pada ayat dua, dituliskan bahwa hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat, ditetapkan pada masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, apakah masyarakat Batam tersebut merupakan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara. Dan apakah tanah tersebut juga diakui negara sebagai tanah ulayat,” tutur Reggy.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak terlibat. Karena di samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat. Pengakuan akan adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang.
Penulis: Tasya
Foto: Batam.tribunnews.com