Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar, Indonesia masih memiliki beberapa kelompok yang masih terpinggirkan, salah satunya adalah para penyandang disabilitas. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020 sekitar 22 Juta jiwa.
Meski tergolong besar, perhatian diberikan terhadap para difabel masih tergolong minim. Stigma negatif dan perspektif bahwa mereka tidak bisa dilibatkan dalam kegiatan masih menjadi paradigma yang menghalangi partisipasi mereka di ruang sosial di masyarakat, termasuk di dalamnya dalam transformasi digital.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Sementara itu, berdasarkan data dari We Are Social, sampai Januari 2023 terdapat 212 juta pengguna internet dan 167 juta diantaranya aktif menggunakan media sosial.
Jumlah tersebut tergolong sangat besar. Pertanyaannya, dengan jumlah yang sangat besar, apakah sudah mampu mengisi ruang-ruang yang dimiliki penyandang disabilitas? Semua belum bisa dipastikan secara valid, mengingat belum ada data yang pasti. Akan tetapi, jika mengacu pada posisi disabilitas yang secara umum terpinggirkan, hal ini berkorelasi lurus dengan di sektor digital.
Melihat minimnya akses sektor digital bagi penyandang disabilitas karena tidak sedikit dari mereka juga belum bisa mengakses semua layanan digital yang ada menggugah Siberkreasi Kementerian Kominfo bekerja sama bersama Komunitas Difapedia dan UKM Peduli Difabel UGM menyelenggarakan workshop dengan tema Mewujudkan Penyandang Disabilitas Yang Mandiri dan Berdaya Melalui Transformasi Digital yang Inklusif.
Worshop digelar Ruang Perpustakaan dan Arsip, Universitas Gadjah Mada, Kamis (20/7) diikuti 200 peserta dari berbagai komunitas penyandang difabel di DIY. Hadir tiga narasumber sebagai pembicara yaitu Abduraahman Hamas Nahdly, Direktur Program SIberkreasi Kementerian Kominfo yang menyampikan Pengantar Literasi Digital Inklusi Disabilitas, Lalu, Bintang Wahyu Putra, Content Creator dan Media Sosial Specialist yang membahas topik Memaksimalkan Media Sosial sebagai Alat Advokasi dan Pemberdayaan Diri bagi Disabilitas, dan Weliyan Tanoyo, Marketplace Specialits yang mengupas soal Manajemen Marketplace dan Optimalisasi Penjualan bagi Pelaku Usaha Disabilitas.
Abduraahman Hamas Nahdly menyatakan secara kebijakan untuk penyandang disabilitas sesungguhnya sudah komplet. Ada UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan turunannya berupa Peraturan Pemerintah No 70 tahun 2019 yang mengatur soal Rencana Induk Penyandang Disabilitas.
Bahkan, hingga aturan sampai level terendah. Sayangnya, pemenuhan hak-hak disabilitas tidak cukup hanya dengan kebijakan masih diperlukan turunan yang lebih nyata dan lebih praktis. Misal kebijakan yang menyentuh hal pelayanan dan berbagai praktik-praktik yang bisa diterima disabilitas.
“Hal ini berimplikasi pula pada upaya pemanfaatan sektor digital untuk kaum difabel. Meningkatkan branding diri maupun memberdayakan dirinya sendiri, baik secara ekonomi maupun sosial. Karenanya diperlukan upaya-upaya dari berbagai pihak dalam usaha meningkatkan inklusifitas di sektor digital bagi penyandang disabilitas,” katanya.
Bintang Wahyu Putra memandang perlu ada gerakan langsung yang dilakukan teman-teman difabel. Sebab, jika melihat isu-isu difabel atau isu-isu yang terkait penyandang disabilitas selama ini banyak digodok oleh orang-orang non difabel.
Meski itu baik, menurutnya, akan lebih baik lagi jika dilakukan teman-teman difabel yang langsung ikut terjun dalam pembahasan, perumusan dan pembuatan kebijakan. Bagaimanapun para penyandang disabilitas adalah aktor atau pelaku langsung sehingga bisa menyampaikan suara hatinya.
“Jangan sampai suara yang kita punya diwakilkan oleh orang lain yang tidak tahu latar belakang teman difabel. Orang yang tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan kita karenanya diperlukan teman difabel untuk bergerak, entah dimulai dari lingkup sekecil apapun perlu dilakukan karena publik banyak tidak tahu kondisi yang dialami difabel,” ungkapnya.
Bintang dalam kesempatan ini mengajak saatnya bagi kaum difabel memanfaatkan media sosial. Meski sudah tidak asing dengan media sosial, mereka selama ini dinilai hanya sebagai pengguna medsos atau penonton belum bisa ambil bagian mengangkat isu-isu difabel sebagai konten yang menarik.
Dengan membuat konten, kata Bintang, para difabel akan memberi sudut pandang yang berbeda. Hal itu dinilainya akan menarik karena konten yang ada sekarang kebanyak dari mereka yang non-difabel.
“Teman-teman bisa menjadi aktor di sana dengan memainkan isu. Bisa bikin video misal bagaimana mahasiswa difabel menjalani hari-harinya mulai berangkat dari rumah ke kampus, bagaimana mereka belajar, mengikuti pembelajaran di kelas, mengerjakan tugas dan lain-lain,” katanya.
Sementara Weliyan Tanoyo dalam workshop ini selain membahas bagaimana memaksimalkan penggunanaan smartphone untuk meningkatkan sektor UMKM disabilitas, ia juga menyampaikan tips dan trik memaksimalkan sektor digital untuk pemasaran produk serta strategi memanfaatkan Marketplace untuk UMKM, khususnya UMKM Disabilitas.
Penulis : Agung Nugroho