Fenomena ditemukannya mikroplastik dalam air hujan di Jakarta menandai fase baru pencemaran lingkungan yang berpotensi mengancam kesehatan manusia. Hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan partikel plastik mikroskopis tersebut berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan, hingga sisa pembakaran sampah plastik. Mikroplastik yang melayang di udara kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama air hujan. “Ancaman mikroplastik terhadap kesehatan manusia sangat besar. Pada studi hewan, partikel ini sudah ditemukan di beberapa organ dan berpotensi menyebabkan gangguan reproduksi,” ungkap Dr. Annisa Utami Rauf, S.Pd., Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Jumat (24/10).
Menurut Annisa, risiko paparan mikroplastik lebih tinggi di wilayah perkotaan yang padat penduduk. Aktivitas masyarakat yang masih bergantung pada plastik sekali pakai berkontribusi besar terhadap akumulasi partikel plastik di udara dan lingkungan. Kesadaran masyarakat untuk membatasi konsumsi plastik perlu ditingkatkan agar dampaknya dapat ditekan. “Risikonya memang tinggi di kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta. Namun, upaya mengganti plastik dengan bahan ramah lingkungan sudah mulai terlihat di beberapa tempat, dan hal ini perlu terus didukung,” jelasnya.
Sejumlah penelitian global telah menemukan keberadaan mikroplastik dalam darah dan organ manusia, termasuk sistem pencernaan. Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa partikel plastik mampu masuk dan menetap di tubuh dalam jangka waktu lama. Meski begitu, Annisa menekankan bahwa bukti ilmiah mengenai dampak spesifik terhadap kesehatan manusia masih terus dikembangkan. “Beberapa penelitian memang menunjukkan adanya akumulasi dalam tubuh manusia, tetapi efek pastinya belum jelas karena penelitian masih berlangsung,” ujarnya.
Ia menambahkan, perbedaan respon tubuh terhadap paparan mikroplastik membuat penelitian di bidang ini semakin kompleks. Setiap individu bisa memiliki kemampuan berbeda dalam melepaskan atau menahan partikel mikroplastik yang masuk ke tubuh. Karena itu, langkah pencegahan menjadi hal yang paling masuk akal dilakukan saat ini. “Kita belum tahu pasti seperti apa efeknya, tapi yang jelas upaya preventif harus dijalankan sedini mungkin,” kata Annisa.
Sumber utama paparan mikroplastik di kehidupan sehari-hari berasal dari kemasan makanan dan minuman berbahan plastik. Air dalam botol sekali pakai, wadah makanan panas, serta lapisan plastik pada produk makanan berpotensi menjadi media perpindahan mikroplastik ke tubuh manusia. Menurut Annisa, gaya hidup praktis di kota membuat masyarakat sering tidak sadar terhadap bahaya tersebut. “Paparan paling tinggi biasanya dari makanan dan minuman yang dikemas plastik. Kebiasaan ini memang perlu diubah secara bertahap,” tuturnya.
Dari sisi kesehatan masyarakat, tantangan terbesar dalam mengendalikan paparan mikroplastik adalah rendahnya kesadaran dan kebiasaan konsumsi masyarakat. Langkah sederhana seperti membawa tumbler, mengurangi penggunaan kantong plastik, dan memilih wadah non-plastik dapat menjadi titik awal perubahan. “Kita bisa mulai dari hal kecil seperti membawa botol minum sendiri atau menghindari kantong plastik saat berbelanja. Upaya kecil ini berkontribusi besar dalam menekan akumulasi mikroplastik di lingkungan,” ujarnya.
Annisa juga menyoroti pentingnya tanggung jawab industri dalam pengelolaan limbah plastik. Produsen besar dinilai memiliki peran strategis untuk mengembangkan sistem pengembalian kemasan dan daur ulang produk. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat kebijakan pengurangan sampah dari hulu hingga hilir. “Produsen yang menghasilkan plastik semestinya punya program taking back trash. Pemerintah dan industri harus bekerja sama agar sampah tidak berakhir di tempat pembuangan akhir,” tegasnya.
Ia menilai konsep reduce dan reuse masih menjadi strategi paling efektif dalam mengurangi potensi akumulasi mikroplastik di alam. Beberapa negara telah memulai langkah konkret dengan memberikan insentif bagi masyarakat yang mengembalikan produk lama atau mendaur ulang limbah plastik. Menurutnya, pola semacam itu dapat diterapkan di Indonesia dengan menyesuaikan konteks sosial dan budaya masyarakat. “Program pengurangan sampah bisa dilakukan lewat kolaborasi industri dan masyarakat. Intinya, sampah harus dikurangi dari sumbernya,” ujarnya.
Keberadaan mikroplastik yang kini ditemukan di atmosfer, bahkan pada air hujan dan awan, memperlihatkan bahwa siklus plastik telah menjangkau seluruh lapisan lingkungan. Riset di Jepang menunjukkan partikel mikroplastik ditemukan di awan, menandakan bahwa polusi ini telah bersifat global. “Mikroplastik sudah menyebar di berbagai media lingkungan, termasuk udara dan awan. Kalau kita tidak menghentikan sumbernya, dampaknya bisa semakin luas,” kata Annisa.
Sebagai penutup, Annisa menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif mulai dari individu hingga pembuat kebijakan. Pemerintah daerah dapat mengambil langkah konkret dengan membatasi penjualan air minum dalam kemasan plastik di sekolah atau fasilitas publik. Pendidikan sejak dini juga penting untuk membentuk perilaku ramah lingkungan. “Kesadaran harus dibangun dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kalau sejak anak-anak sudah dibiasakan membawa botol minum sendiri, kita bisa berharap generasi berikutnya lebih peka terhadap isu plastik,” tutupnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Freepik
