Australia baru-baru ini memilih kepemimpinan baru setelah pemilihan parlemen pada tahun 2022 dan juga sedang mempersiapkan Referendum 2023 untuk Mengakui Penduduk Aborigin dan Kepulauan Selat Torres dalam Konstitusi. Sedangkan Indonesia juga sedang mempersiapkan pemilihan presiden dan parlemen pada tahun 2024. Kedua negara menghadapi tantangan perubahan politik yang hampir sama yakni soal kesetaraan dan keadilan sosial, serta mengejar inovasi dan kepemimpinan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih setara dan inklusif di masa mendatang.
Demikian yang mengemuka dalam Konferensi Australia-Indonesia in Conversation (AIC) 2023 yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan The Faculty of Arts, The University of Melbourne.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Wawan Mas’udi, mengatakan konferensi ini merupakan peringatan sepuluh tahun kerja sama antara Fisipol UGM dengan The Faculty of Arts, The University of Melbourne. “Selama bertahun-tahun, kedua institusi telah terlibat erat dalam berbagai kegiatan termasuk penelitian bersama dan publikasi ilmiah, pertukaran pelajar dan akademik, serta kelas bersama,” kata Wawan.
Setiap tahun atau dua tahun, kata Wawan, kedua fakultas ini melakukan berbagai diskusi dengan tema yang beragam. Pada tahun 2021 sebelumnya dilakukan diskusi tentang perubahan iklim dan keberlanjutan. Sedangkan konferensi kali ini mendiskusikan soal “Menghargai Demokrasi dan Keberagaman: Kesetaraan, Kepemimpinan dan Keadilan Sosial”.
Hasil pemikiran dari konferensi yang melibatkan para pakar dari kedua universitas ini menurut Wawan bisa memberikan masukan dan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan sekaligus memperkuat kerja sama kedua kampus di bidang pendidikan dan riset terutama pembukaan program joint program dan dual degree serta mendorong mobilitas dosen dan mahasiswa.
Wakil Dekan Fakultas Seni, Universitas Melbourne, Australia, Prof Rachael Diprose, mengatakan kolaborasi penelitian para mahasiswa Ph.D., dan para staf antara kedua kampus sebelumnya makin memperkaya para akademisi di Australia dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka bawa. “Jadi, kami berharap konferensi ini berkontribusi pada upaya untuk terus merayakan demokrasi dan keberagaman serta menekankan pentingnya kepemimpinan inklusif dalam membangun jalur yang lebih adil bagi semua orang di kedua negara,” katanya.
Menurutnya, Australia dan Indonesia menghadapi tantangan dalam merespons perubahan politik yang muncul serta isu-isu seputar kesetaraan dan keadilan, dan hal ini dibentuk oleh dinamika historis dan kontemporer. “Namun, seperti yang telah saya sebutkan, ada inovasi dan kepemimpinan yang signifikan yang dapat kita pelajari dari cara para pembuat kebijakan, pelaku dan aktivis masyarakat sipil, sektor swasta, dan para peneliti di Australia dan Indonesia berusaha untuk menghargai demokrasi dan keragaman,”ujarnya.
Kami berharap konferensi ini dapat berkontribusi pada dialog interdisipliner tentang isu-isu yang akan kita bahas, dialog antara para peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi, dan dialog antara Australia dan Indonesia tentang bagaimana membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik, yang berkontribusi pada kesejahteraan semua orang.
Bagi Rachael, universitas tetaplah menjadi sumber keahlian dan memberikan dampak dalam penyusunan kebijakan dan perdebatan, serta mempromosikan pemahaman yang lebih besar antara Australia dan Indonesia. “Tema kerja sama Engaging with Indonesia yang dibangun di atas kemitraan kami yang telah terjalin lama dengan berbagai universitas, dan yang sangat penting dengan Universitas Gadjah Mada, yang telah menjalin nota kesepahaman dengan kami sejak tahun 1995. Indonesia adalah tetangga dan sahabat terdekat Australia, dan seperti Australia, Indonesia adalah negara yang kaya dan beragam dengan inovasi yang luar biasa, yang darinya Australia juga belajar,” paparnya.
Direktur Indigenous Knowledge Institute University of Melbourne, Profesor Aaron Corn, mengatakan beberapa tahun belakangan ini menjadi momen penting dalam sejarah Australia. Seperti halnya Indonesia, Australia telah bergulat dengan ketidakstabilan geopolitik dan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang sebagian besar disebabkan oleh dampak pandemi. “Tetapi di dalam negeri kami juga sedang mengalami transformasi sosial kami sendiri, yakni pergulatan dengan warisan abadi dari awal kolonialisme Australia. Dan yang saya maksud adalah Persemakmuran Australia,” ujarnya
Pada tahun ini, ujar Aaron, warga Australia akan memberikan suara dalam referendum untuk memutuskan apakah suara di parlemen untuk penduduk asli Australia dijamin dalam konstitusi Australia.
Ia menyebutkan, penduduk asli Australia adalah orang Australia pertama yang telah menduduki Australia selama sekitar 65.000 tahun, tetapi setelah penjajahan Inggris pada tahun 1788, secara sistematis tidak mendapatkan hak asasi manusia yang paling dasar hingga beberapa dekade terakhir abad ke-20 dan bahkan sekarang mengalami tingkat kemiskinan, morbiditas, pemenjaraan, dan kematian yang jauh melebihi orang-orang lain yang tinggal di Australia saat ini.
University of Melbourne sangat mendukung kebebasan intelektual bagi semua staf akademik karena itulah dewan universitas dan dewan eksekutif dan akademik masing-masing memberikan suara secara independen untuk mendukung kampanye “Ya” untuk referendum suara Penduduk Asli ke parlemen.
“Saya juga mendukung kampanye “Ya” karena setelah bekerja hampir secara eksklusif dengan rekan-rekan penduduk asli dari berbagai wilayah Australia, termasuk wilayah-wilayah yang sangat terpencil di Australia, selama 27 tahun terakhir, saya dapat dengan jelas melihat bagaimana ketidaksejajaran dan pemborosan kebijakan telah mengikis layanan dasar dan peluang di komunitas penduduk asli dan bagaimana Australia harus kembali ke sistem perwakilan penduduk asli federal yang dipilih seperti yang kita miliki dua dekade lalu,” paparnya.
Melalui konferensi ini, Aaron mengatakan menjadi kehormatan bagi dirinya dan delegasi dari University of Melbourne dapat berbagi pengalaman dengan para pakar dan peneliti dari Universitas Gadjah Mada. “Kami berharap dapat belajar lebih banyak lagi mengenai pendekatan Anda dalam menghargai demokrasi dan keragaman di sini,” katanya.
Sementara Minister Counsellor Governance and Human Development, Kedutaan Besar Australia di Indonesia Madeleine Moss menambahkan pelaksanaan konferensi ini bertepatan dengan pertemuan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Albanese di Australia beberapa hari lalu. Menurutnya dari pertemuan tersebut kedua pemimpin sepakat memperluas bidang kerja sama berkolaborasi bersama sebagai tetangga, teman, mitra ekonomi, sesama pemimpin di kawasan ini, dan sebagai dua negara demokrasi yang dinamis.
Menurut pandangannya, salah satu prioritas Indonesia yang jelas adalah pembangunan yang inklusif. Hal itu pun yang terjadi dengan Australia. Adapun pelaksanaan demokrasi di Indoensia dinilainya cukup kuat, tangguh, dan mandiri. Meskipun ada perbedaan dalam sistem demokrasi antara Australia dan Indonesia, namun ada sejumlah kekuatan dasar yang sama. “Kita sama-sama menghargai dan memiliki sejarah yang kuat dalam hal pemilihan umum yang bebas dan adil. Kita memiliki badan pemilihan umum yang independen, KPU di Indonesia, dan di Australia, AEC. Dan kita memiliki peradilan yang tidak memihak dan budaya politik yang sangat kuat yang menjangkau hingga ke tingkat pemerintahan nasional. Kita memiliki sistem tata kelola dan pemerintahan yang terdesentralisasi. Sekarang di Australia, kita tahu bahwa sistem ini tidak sempurna. Anda mungkin juga akan menemukan banyak orang di Indonesia yang melihat aspek di dalam sistem ini menantang. Ketika saya berkeliling Indonesia, saya selalu terkesan dengan kualitas kepemimpinan di tingkat daerah. Terutama dalam hal komitmen inklusi dari para pemimpin daerah di Indonesia yang sangat mengagumkan,” jelasnya.
Sistem kepemimpinan desentralisasi yang kuat dan kontribusinya pada pembangunan inklusif dan praktik demokrasi yang inklusif adalah sesuatu yang dimiliki oleh Australia dan Indonesia. “Saya kira ini tidak lepas dari peran masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan dan peran aktor-aktor masyarakat sipil dalam menopang demokrasi,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Konferensi AIC diadakan selama dua hari, 5-6 Juli 2023 membahas berbagai topik diantaranya mempromosikan inklusi sosial dan mengatasi ketidaksetaraan dalam lingkungan yang dinamis, baik terkait program politik dalam pemilihan umum mendatang di Indonesia dan perubahan politik baru-baru ini serta platform kebijakan baru di Australia serta mengeksplorasi bagaimana kaum muda dapat mendorong perubahan serta mendukung dan mengatasi ketidaksetaraan.
Selain itu, para pakar juga mengeksplorasi tantangan dan inovasi kontemporer dalam meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia dan Australia.
Penulis: Gusti dan Salma
Foto : Donnie Tristan