Kemajuan teknologi digital dengan makin besarnya peran Artificial Intelligence (AI) pada dunia kerja dinilai bisa berdampak dengan banyaknya orang kehilangan pekerjaan, meski berbagai jenis pekerjaan di masa depan bisa menghadirkan relasi kerja serta peluang kerja baru, terutama bagi generasi muda. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan baru yang muncul pada masa depan banyak berbentuk hubungan kerja non-standar.
“Banyak pekerjaan baru yang belum diatur dengan baik di Indonesia dan rawan dieksploitasi. Belum lagi kemungkinan beberapa pekerjaan yang hilang akibat kemajuan teknologi,” ucap peneliti Center for Digital Society (CfDS) UGM, Nabiyla Risfa Izzati, S.H., L.L.M., dalam keterangan yang disampaikan Selasa (3/9), menyampaikan hasil diskusi bertajuk “Masa Depan Dunia Kerja yang Berkeadilan di Era Digital” beberapa waktu lalu.
Ia menekankan perlunya adaptasi ranah hukum Indonesia dalam menjamin dan melindungi masa depan dunia kerja nasional. Penting bagi para pekerja dalam memahami cara menghadapi pekerjaan masa depan, terutama tentang hak dan kewajiban kita dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Anggota Serikat Pekerja FISIPOL UGM, Suci Lestari Yuana, S.I.P, M.I.A., mengakui hadirnya teknologi informasi telah mengubah cara bekerja kaum pekerja, termasuk di lingkup universitas. Tidak sebatas untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pekerjaan, namun digitalisasi juga berdampak pada hak-hak, kondisi kerja, dan perlindungan pekerja.
Ia menceritakan pada 1 September lalu, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM resmi mendirikan Serikat Pekerja FISIPOL (SPF). Menurut Suci, SPF menjadi salah satu serikat pekerja pertama di UGM.
Penulis : Gusti Grehenson