Guna memperingati hari Kependudukan Dunia 2023, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan seminar bertema “Penduduk 8 Miliar: Memahami Tren Penduduk untuk Memahami Hak dan Suara Perempuan Menuju Ketahanan Demografi”. Seminar yang berlangsung di Gedung Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Bulaksumur, Yogyakarta pada Selasa (25/7) tersebut mengundang langsung Komisioner Komnas Perempuan untuk membahas eksistensi perempuan dalam masyarakat.
Salah satu isu dalam diskusi ini adalah kekerasan terhadap fertilitas dan tubuh perempuan yang masih terjadi hingga saat ini. Perempuan kerap kali mendapat ketidakadilan dalam perannya melahirkan keturunan. “Masyarakat masih memiliki anggapan bahwa kodrat perempuan itu untuk melahirkan keturunan, bukan sebagai pilihan individu. Ada banyak kasus terjadi di mana perempuan yang tidak mau atau tidak mampu memiliki anak mengalami diskriminasi,” tutur Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi.
Data Komnas HAM menyebutkan, kasus kekerasan pada perempuan yang berhubungan dengan fertilitas masih sangat tinggi, seperti kasus perkosaan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, dan lain-lain. “Data yang masuk di kami, perempuan mengalami masalah dalam haknya untuk memiliki atau tidak memiliki anak. Salah satunya ada kasus di mana perempuan dilarang menggunakan alat kontrasepsi, akhirnya dia diam-diam menggunakannya karena merasa anak yang dimiliki sudah cukup, namun suaminya melarang untuk menggunakan alat kontrasepsi,” tambah Wanti.
Tak hanya soal pembatasan hak perempuan dalam rumah tangga, seminar ini juga mengangkat isu kekerasan dan pemaksaan berhubungan seks pada remaja perempuan. “Setidaknya 42,7% perempuan yang belum menikah pernah mengalami kasus kekerasan, dan terdapat 3528 kasus kekerasan dalam pacaran. Termasuk dalam data tersebut adalah anak-anak usia 14-15 tahun, masih sangat muda. Kebanyakan mereka menganggap orang yang mereka sayangi adalah tempat yang aman, padahal tidak,” ungkap peneliti PSKK UGM, Dr. Dewi Haryani Susilastuti, M.Sc.
“Ada beberapa tipe kekerasan dalam pacaran, ya. Antara lain kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Kebanyakan anak usia remaja ini belum memahami konsep dari kekerasan emosional yang biasanya disampaikan secara verbal,” tutur Dewi. Jenis kekerasan ini dinilai sama bahayanya dengan kekerasan fisik, karena dapat memengaruhi karakter emosi dan mental remaja. Bahkan, kekerasan emosional juga secara tidak langsung dapat mengarah pada kekerasan fisik.
Konteks hubungan yang tidak sehat juga merambah ke isu hubungan seks di luar nikah. Dewi menjelaskan, perilaku hubungan seks di luar nikah pada remaja ini bisa terjadi melalui pemaksaan ataupun persetujuan, namun keduanya sama-sama dilandasi oleh minimnya pemahaman dari individu itu sendiri. “Kasus pemaksaan hubungan seks di luar nikah itu banyak terjadi, namun yang saat ini tidak kalah berbahaya adalah ketika perilaku ini dilakukan atas dasar tren. Remaja mendapati posisi mereka merasa tertinggal oleh teman-temannya hanya karena tidak pernah berhubungan seks. Ini yang patut diwaspadai oleh para orang tua,” ucap Dewi.
Banyaknya kasus kekerasan pada perempuan masih sangat sulit untuk ditangani jika tidak ada dukungan dari lingkungan sekitar. Konstruksi sosial masyarakat harus mulai diubah secara bertahap untuk menciptakan lingkungan yang aman untuk perempuan.
Penulis: Tasya