Pengelolaan tanah melalui teknologi emisi negatif dan strategi mitigasi dan adaptasi lainnya sangat menjanjikan untuk diterapkan sebagai langkah jitu untuk mengantisipasi perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan. Meski begitu cara tersebut masih menghadapi banyak tantangan dalam implementasinya.
Diantaranya soal ketersediaan data dan informasi yang terintegrasi tentang emisi GRK dan laju sekuestrasi karbon. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan solusi pengelolaan tanah yang tepat. Terlebih lagi, keberagaman jenis tanah di Indonesia dengan berbagai tingkat kualitas tanah.
“Pengelolaan tanah yang serampangan dapat menyebabkan tanah menjadi terdegradasi dan sebaliknya, padahal pengelolaan tanah yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi perubahan iklim dan menjamin keberlanjutan lingkungan,” ujar Prof. Dr. Ir. Benito Heru Purwanto, M.P., M.Agr di Balai Senat UGM, Kamis (3/8).
Dosen Program Studi Ilmu Tanah mengatakan itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kimia dan Pengelolaan Tanah Fakultas Pertanian UGM. Menyampaikan pidato pidato berjudul Pengelolaan Tanah Melalui Teknologi Emisi Negatif Untuk Keberlanjutan Lingkungan, dia menyebut sejumlah tantangan lain menyangkut soal optimasi teknologi dan strategi terkait berbagai keadaan tanah, dan belum dipahaminya mekanisme yang efektif di dalam menekan emisi GRK dan meningkatkan laju sekuestrasi karbon.
Pengaruh aplikasi biochar terhadap emisi GRK tanah ini sangat bervariasi, tergantung pada sifat biochar dan kondisi tanah, seperti pH, kelembaban, profil mikroba dasar dan lain-lain sehingga tingkat sekuestrasi karbon yang dicapai oleh pengelolaan tanah berbasis biochar juga beragam, dan keberadaan tanaman akan menambah keragaman laju sekuestrasi karbon yang diperoleh.
“Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai biochar yang efektif di dalam meningkatkan laju sequestrasi karbon dan menurunkan emisi GRK perlu dilanjutkan,” katanya.
Tantangan lain, kata Benito, adalah dalam hal menghasilkan teknologi dan strategi paling efisien untuk menekan emisi GRK, dalam hal ini N2O. Menurutnya, dapat dilakukan diantaranya dengan dekomposisi katalitik N2O dengan oksida logam dan penghambatan proses nitrifikasi secara biologi. Dekomposisi katalitik N2O adalah salah satu metode yang paling efisien untuk menghilangkan N2O. Zeolit yang mengandung ion Fe tertukar dikenal sebagai katalis untuk dekomposisi N2O.
Tantangan lainnya yang tak kalah penting adalah soal efektifitas sistem pertanian organik dalam menjawab isu perubahan iklim. Meski sudah diterima secara luas oleh masyarakat dan diyakini sebagai sistem pertanian yang sehat dan berlanjutan, sistem pertanian organik ini bergantung pada pengelolaan bahan organik tanah untuk meningkatkan sifat kimia, biologi, dan fisik tanah, guna mengoptimalkan produksi tanaman.
Di bawah isu perubahan iklim saat ini, Benito berpandangan pertanian organik harus ditekankan untuk meminimalkan emisi GRK dan meningkatkan laju sekuestrasi tanah C tanah. Sejumlah literatur telah menunjukkan bahwa emisi GRK yang dipancarkan oleh sistem pertanian organik padi sawah bisa lebih rendah, sebanding maupun lebih tinggi dari sistem pertanian konvensional.
“Hal ini berarti sistem pertanian organik bisa berpotensi menjadi penyumbang emisi GRK yang lebih tinggi, jika tidak dikelola dengan hati-hati. Untuk itu perlu dilakukan assessment terhadap Global Warming Potential (GWP) dari pertanian organik,” ucapnya.
Di akhir pidatonya, Benito menandaskan pendekatan teknologi emisi negatif dan strategi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim sepatutnya juga memberikan empat manfaat. Disamping memberi manfaat tanah dengan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah itu sendiri, ia juga bermanfaat untuk agronomi berupa peningkatan produktivitas tanaman dan kualitas hasil tanaman, manfaat biodiversitas berupa keberlanjutan keanekaragaman hayati dan manfaat kesejahteraan sosial ekonomi dan kesehatan kepada manusia.
“Studi tentang persepsi sosial dan penerimaan publik tentang perubahan iklim juga perlu dilakukan. Serangkaian indikator yang andal diperlukan dalam rangka assessment dan evaluasi terhadap penerimaan dan umpan balik dari manfaat tersebut. Karenanya perlu pendekatan yang holistik dari berbagai bidang dan dilakukan secara sistematis agar tujuan keberlanjutan lingkungan dapat tercapai,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto