Prof. Dr. apt. Puji Astuti, S.Si., M.Sc., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi UGM, Selasa (29/8) di Balai Senat UGM.
Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan pidato berjudul Siklus Sel Sebagai Target Penemuan Obat Alami Anti Kanker: Pendekatan Empiris Hingga Teknologi Modern. Puji memaparkan kemoterapi merupakan salah satu metode utama dalam pengobatan kanker saat ini. Kendati begitu metode ini menimbulkan beragam efek samping. Sementara beberapa penelitian melaporkan agen kemoterapi yang diperoleh dari produk alam ataupun sintesis, analognya mempunyai efek samping terbatas dan memiliki kemampuan anti-multidrug resistance.
“Beberapa agen kemoterapi yang diisolasi dari tanaman seperti vincristine, vinblastine, irinotecan, etoposide, paclitaxel, camptothecin, dan epipodophyllotoxin telah digunakan dalam penanganan kanker saat ini. Data dari FDA (Food and Drug Administration) menunjukkan bahwa 40% dari molekul yang disetujui berasal dari bahan alam atau turunannya dan 74%-nya digunakan dalam terapi kanker,”urainya.
Puji memaparkan banyak penelitian berbasis tanaman obat yang digunakan sebagai sumber senyawa kimia bioaktif dan telah diuji efek farmakologinya, baik in vitro maupun in vivo. Bahkan beberapa di antaranya diakui berperan dalam perkembangan obat baru sebagai antikanker seperti kunyit (Curcuma longa L) dengan zat aktifnya curcumin diketahui mempunyai kemampuan kemopreventif dan antitumor. Selain kunyit, daun sirsak (Annona muricata) juga banyak diteliti dan dikembangkan sebagai antikanker payudara dan terapi terhadap kanker kolorektum. Lalu, Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) juga dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan sel MCF-7 in vitro dan mengkudu (M. citrifolia) dapat menghambat pertumbuhan beberapa sel kanker prostat.
Lebih lanjut Puji mengatakan ada banyak tantangan dalam proses uji klinis penemuan obat yang berasal dari bahan alam. Utamanya, dalam hal suplai yang tidak memungkinkan dilakukan isolasi dari tanaman aslinya. Selain itu juga biaya yang mahal dan secara ekologi tidak layak.
Kendati begitu, Puji menyebutkan hadirnya teknologi modern seperti teknologi kultur sel dan jaringan tanaman menjadi cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan metabolit sekunder dalam jumlah komersial. Berbagai upaya dilakukan, antara lain, adalah melalui optimasi kondisi kultur, seleksi galur berproduktivitas tinggi, penggunaan prekursor, metode transformasi, maupun teknik imobilisasi.
Alternatif kombinasi strategi juga dikembangkan, di antaranya, adalah pembuatan obat secara semi- sintesis atau menggunakan alternatif inang yang dapat digunakan untuk memproduksi obat tersebut.
“Pencarian senyawa bioaktif pada tanaman menjadi tantangan besar karena diharapkan senyawa tersebut dapat diperoleh dalam jumlah besar tanpa menimbulkan kerusakan ekologis,”terangnya.
Beberapa penelitian saat ini dikatakan Puji difokuskan pada pencarian mikroba yang tumbuh dalam jaringan tanaman (endofit) untuk dieksplorasi potensinya sebagai sumber senyawa bioaktif anti kanker. Hal tersebut dilakukan mengingat besarnya potensi senyawa bioaktif antikanker yang dihasilkan dari tanaman dan banyak penelitian yang melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh dalam jaringan tanaman juga mampu menghasilkan metabolit aktif yang sama dengan tanaman inangnya. Salah satu contohnya Taxol dari tanaman Taxus brevolia yang sebelumnya dapat diproduksi oleh endofit Taxomyces andranae.
“Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia sangat mendukung penemuan obat asli Indonesia. Dengan inovasi, kemajuan IPTEK, serta kemampuan sumber daya yang dimiliki negra kita, bukan hal yang tidak mungkin pengembangan obat di tanah air akan berlangsung lebih cepat dan berkelanjutan,”pungkasnya.
Penulis: Ika
Foto: Firsto