Pengolahan kotoran sapi dengan teknologi penguraian anaerobik atau anaerobic digestion dapat menghasilkan biogas yang kaya akan gas metan, serta dapat digunakan sebagai bahan bakar, sumber panas, sumber energi pembangkit listrik, atau disuntikkan ke jaringan gas alam setelah dimurnikan. Terlepas dari kelebihan yang dimiliki, metode tersebut masih menghasilkan residu basah berupa digestate yang kerap dimanfaatkan sebagai pupuk, namun berpotensi melepaskan gas rumah kaca dan mencemari udara.
Untuk memitigasi potensi ancaman lingkungan tersebut, sekelompok dosen UGM meneliti metode pengelolaan digestate yang lebih berkelanjutan dan sejalan dengan konsep bioekonomi sirkular, serta dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomi dan manfaat bagi lingkungan. Produk yang dihasilkan meliputi bio-oil yang kaya akan karbon, senyawa-senyawa bernilai tinggi, dan hydrochar, serta produk samping fase cair yang mengandung nutrien dalam konsentrasi tinggi yang bisa di daur ulang untuk menjadi pupuk atau soil amendment.
“Selain itu, proses yang dikembangkan di penelitian ini dapat langsung mengolah digestate yang kadar airnya tinggi tanpa harus melalui proses pengeringan yang memerlukan energi panas dalam jumlah besar,” terang Dosen Departemen Teknik Kimia UGM, Hanifrahmawan Sudibyo, Ph.D.
Penelitian ini ia lakukan bersama dua dosen Fakultas Teknik lainnya, yaitu Budhijanto, Ph.D (Departemen Teknik Kimia), dan Dr. Eng. Adhika Widyaparaga (Departemen Teknik Mesin dan Industri). Selain kolaborasi internal, tim peneliti UGM juga bekerja sama dengan mitra peneliti dari Pontificia Universidad Católica de Chile (Chile) dan Pontificia Universidad Javeriana (Kolombia). Hasil penelitian ini pun telah diakui secara internasional melalui publikasi di Industrial & Engineering Chemistry Research, jurnal Q1 terbitan American Chemical Society (ACS) pada tahun 2023.
Metode pengolahan digestate yang digunakan dalam penelitian ini adalah pencairan hidrotermal atau hydrothermal liquefaction (HTL) dengan menggunakan sejumlah mineral lempung sebagai katalis. Hanif menerangkan, fokus dari penelitian ini adalah melakukan eksplorasi katalisator padat heterogen yang paling optimal untuk menggantikan katalisator asam atau basa homogen yang biasa digunakan pada proses pencairan hidrotermal.
Tim ini melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap berbagai mineral lempung yang tersedia secara alami dan komersial, dan menemukan bahwa montmorillonite adalah mineral lempung yang paling layak untuk digunakan. Montmorillonite sendiri merupakan mineral yang dapat diperoleh secara alami di berbagai daerah di pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, dan lain-lain. Sintesis montmorillonite secara komersial untuk memperoleh kemurnian yang tinggi juga sudah dilakukan oleh pabrikan-pabrikan dunia.
“Hasil penelitian ini akan dapat berkontribusi pada pengembangan biorefinery pengolahan limbah biomassa basah yang bersifat resource efficient atau dengan kata lain menghasilkan pemulihan sumber daya alam yang maksimal,” ungkap Hanif.
Tim peneliti UGM ini selanjutnya berencana untuk meneliti lebih dalam pengembangan katalis berbasis mineral lempung ini untuk valorisasi berbagai limbah biomassa basah yang jumlahnya signifikan di Indonesia.
Yang terkini, Hanif juga baru saja memperoleh hibah penelitian dari Kurita Water and Environment Foundation Jepang untuk mengembangkan katalis berbasis mineral hydrotalcite yang diimpregnasi dengan unsur-unsur logam transisi untuk mengubah campuran senyawa fenolik pada air limbah industri pulp dan paper dan penyamakan kulit menjadi syngas, yaitu CO dan H2.
“Semoga hasil penelitian yang didanai oleh Kurita ini berhasil membuat terobosan yang bermanfaat bagi industri-industri terkait,” tuturnya.
Penulis: Gloria