Kasus penembakan lima warga negara Indonesia (WNI) pekerja migran non prosedural di Malaysia dalam sepekan terakhir memicu perhatian publik. Pasalnya dari lima orang yang menjadi korban penembakan tersebut, satu diantaranya meninggal dunia. Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai perlindungan hak asasi manusia (HAM) serta hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia.
Pemerhati Hak Asasi Manusia Internasional dari Fisipol UGM, Prof. Dafri Agussalim, menilai bahwa tindakan aparat Malaysia dalam insiden ini tergolong berlebihan dan melanggar hukum internasional terkait HAM. “Tindakan aparat Malaysia tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional terutama soal HAM,” kata Dafri, Senin (3/2).
Terkait langkah yang harus diambil oleh Indonesia, Dafri menekankan bahwa pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada melayangkan protes resmi kepada Malaysia, tetapi juga harus melakukan perbaikan sistemik di dalam negeri. “Seharusnya ini tidak hanya berhenti pada pemberian kompensasi dan penjatuhan hukuman nanti. Lebih dari itu, kedua negara harus membahas ulang mekanisme perlindungan pekerja migran agar kejadian serupa tidak terus berulang,” ujar Dosen Departemen Hubungan Internasional.
Ia juga menyoroti pentingnya revisi dan penegakan perjanjian bilateral terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Menurutnya, di tingkat ASEAN sebenarnya sudah ada protokol yang mengatur perlindungan pekerja migran, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan. “Banyak aturan yang sudah ada, tetapi dalam praktiknya tidak berjalan efektif. Masalah ini harus menjadi introspeksi bagi pemerintah Indonesia agar lebih serius dalam menangani arus migrasi ilegal,” katanya.
Pihaknya mendorong agar penyelesaian kasus ini bukan hanya dilakukan secara parsial, melainkan harus dengan pendekatan sistematis yang mencakup aspek hukum, ekonomi, dan sosial. Negara tidak bisa hanya mendesak Malaysia tanpa membenahi masalah di dalam negeri. Dengan kejadian ini, Indonesia dihadapkan pada tugas besar, yakni menuntut keadilan bagi korban, membenahi kebijakan ketenagakerjaan, serta memperkuat perlindungan bagi pekerja migran agar tragedi serupa tidak terus berulang. “Ini bukan sekadar kasus penembakan, tetapi masalah besar yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan tenaga kerja Indonesia. Berantas kejahatan ini hingga ke akar-akarnya dan bentuk hubungan bilateral yang jelas serta mampu melindungi warga negara,” jelasnya.
Menurutnya, fenomena pekerja migran ilegal masuk ke negara Malaysia tidak hanya disebabkan oleh kebijakan Malaysia, tetapi juga karena kombinasi beberapa faktor, yakni faktor pendorong dari dalam negeri (push factor) dan faktor penarik dari negara tujuan (pull factor). “Salah satu faktor utamanya adalah kegagalan pemerintah Indonesia dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Jika di dalam negeri tersedia pekerjaan dengan upah layak, maka masyarakat tidak akan mengambil risiko besar dengan bekerja secara ilegal di luar negeri,” tegasnya.
Di sisi lain, Malaysia menjadi daya tarik bagi pekerja migran karena menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Kombinasi ini diperburuk dengan peran calo dan sindikat perdagangan tenaga kerja yang menjadi intermediary factor atau faktor ketiga dalam rantai migrasi ilegal. “Ini adalah kejahatan yang sebenarnya sudah lama diketahui. Namun, ada indikasi pembiaran atau ignorance dari negara.”
Menurut Prof. Dafri, para pekerja migran non prosedural ini seringkali terjebak dalam skema perekrutan ilegal. Mereka dijanjikan pekerjaan yang layak, tetapi harus membayar sejumlah uang kepada calo di Indonesia maupun di Malaysia. “Rantai bisnis ini sangat panjang, banyak pihak yang mengambil keuntungan dari situasi ini. Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia belum menunjukkan ketegasan dalam menindak jaringan percaloan ini,” jelasnya.
Ia menggarisbawahi bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa hanya bereaksi setelah terjadi penembakan. Upaya pencegahan serta penindakan terhadap jaringan yang memperdagangkan warna negara Indonesia menurutnya masih lemah dan hal tersebutlah yang harus segera diberantas.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menegakkan hukum dan melindungi warganya. Ia turut memberi perbandingan dengan negara lain yang lebih kuat dalam mengelola ketenagakerjaan sehingga warganya tidak perlu mencari nafkah di luar negeri dengan cara-cara yang berisiko. “Pernahkah kita mendengar warga negara tetangga seperti Australia atau Singapura yang harus bekerja secara ilegal di negara lain? Tidak. Itu karena pemerintah mereka mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi warganya. Sementara di Indonesia, pekerja migran malah sering disebut ‘pahlawan devisa’, padahal seharusnya negara yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka,” tegasnya.
Seperti diketahui, kasus penembakan 5 pekerja migran dari Indonesia yang dilakukan oleh Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia di Perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia pada 24 Januari lalu yang melibatkan pekerja migrain yang berusaha keluar dari Malaysia menggunakan perahu.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik