Relasi yang terjalin antar karyawan saat ini banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada awalnya relasi terbentuk melalui interaksi langsung pada tim tradisional. Seiring perkembangan maka dalam beberapa dekade relasi yang terjalin tidak hanya terjadi secara langsung tetapi bisa terjadi karena difasilitasi oleh teknologi dan jaringan seperti pada tim virtual.
Perubahan dari tim tradisional ke arah tim virtual mengakibatkan adanya perubahan dinamika relasi yang terjadi. Adalah Tri Astuti., S.Psi., M.Psi., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur yang kemudian melakukan penelitian soal ini.
Penelitian dilakukan untuk mengembangkan teori dinamika kelompok tim virtual pada startup. Metode penelitian yang ia gunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan grounded theory. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi dengan melibatkan partisipan sebanyak 18 dari 17 startup digital.
“Penelitian inipun menemukan selective coding yang berorientasi pada solusi yang dapat dijelaskan melalui alur dinamika dari 10 kategori yang dibagi ke dalam tiga tahapan sistemik input, proses, dan output yaitu preferensi organsiasi, preferensi personal, voluntary task assignment, kelompok kecil, “update culture”, manajemen terbuka, back to back, peralihan instan, rasa memiliki kelompok, dan kinerja,” ujar Tri Astuti saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Psikologi UGM, Kamis (24/8).
Dia mengungkapkan tim virtual berorientasi pada solusi menawarkan output dari hasil relasi positif seperti efektivitas pencapaian target kerja tepat waktu, efisiensi dan implikasi dari penelitian yang ia lakukan dapat digunakan sebagai gambaran awal bagi perusahaan yang ingin membentuk tim virtual dan membuat sistem manajemen tim virtual dengan mempertimbangkan kategori yang muncul guna mendukung pencapaian kinerja perusahaan.
Mempertahankan disertasi Orientasi Pada Solusi: Strategi Efektif Pada Tim Virtual, Tri Astuti menjelaskan tim virtual tidak akan terbentuk jika perusahaan tidak mempertimbangkan strategi, pengaruh dari lingkungan luar sampai dengan jenis pekerjaan yang berpeluang untuk dibentuk secara tim virtual. Pilihan gaya kerja karyawan juga menjadi salah satu faktor penentu apakah tim virtual akan terbentuk atau tidak.
Beberapa karyawan yang menyukai pekerjaan dengan cara berinteraksi langsung akan mengalami kesulitan jika harus bekerja dalam tim virtual kerena telah terbiasa dan termotivasi bekerja dengan berinteraksi langsung. Di saat kedua komponen tersebut sudah dipertimbangkan dengan cukup matang maka relasi yang terjalin secara virtualpun akan berlanjut pada proses lebih formal yaitu pembagian tugas kerja.
“Pada tim virtual, proses pembagian kerja memang lebih banyak dilakukan melalui proyek-proyek sementara. Proyek yang lolos melalui tahapan review oleh pemimpin kemudian dibawa pada bawahannya untuk disebarkan dengan mempertimbangkan tiga hal yaitu prioritas, beban kerja dan pengalaman,” jelasnya.
Karyawan yang memenuhi ketiga hal tersebut, dalam pandangan Tri Astuti, memiliki peluang untuk mendapatkan proyek yang ditawarkan. Dalam proses koordinasi antara pemimpin dan bawahan akan dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan tujuan dapat bertukar informasi pada kelompok kecil dan memungkinkan tim virtual mencapai mutual understanding yang lebih cepat dibandingkan dengan membagi informasi pada kelompok yang lebih besar.
“Selanjutnya, jika kelompok-kelompok kecil sudah terbentuk maka pemimpin dan bawahan akan melakukan interaksi yang dijelaskan melalui empat kategori yaitu update culture, manajemen terbuka, back to back, dan peralihan instan. Keempat kategori ini menggambarkan proses koordinasi sampai dengan monitoring yang dilakukan oleh pemimpin dan bawahan. Seluruh tahapan proses saling memengaruhi satu sama lain, dan memiliki dampak terhadap perusahaan itu sendiri,”tandas Tri Astuti dalam ujiannya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Erna (Fak. Psikologi)