Meninggalnya ratusan suporter dalam pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada hari Sabtu (1/10) menjadi kisah pilu yang akan menjadi catatan kelam dalam sejarah sepak bola dunia.
Sejumlah perempuan, anak-anak, siswa SMP, SMA dan SMK di Kota Malang turut menjadi korban dalam tragedi kerusuhan tersebut. Pemakaian gas air mata oleh aparat keamanan dalam pertandingan tersebut dituding sebagai pemicu jatuhnya banyak korban.
Padahal, FIFA sebagai induk sepak bola dunia melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Berdasarkan pedoman ‘FIFA Stadium Safety and Security Regulation’ Pasal 19 poin B, disebutkan tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa.
Menanggapi peristiwa tersebut Dr. Hempri Suyatna., S.Sos., M.Si selaku pengamat pembangunan sosial dan kesejahteraan UGM menyatakan suporter khususnya sepak bola memiliki karakteristik tersendiri . Suporter sepak bola memilik karakter unik dan semangat fanatisme yang luar biasa.
Mereka rela mengeluarkan waktu, uang dan tenaga untuk mendukung tim kebanggaan mereka. Bahkan tidak jarang dari mereka harus menjual barang yang dimiliki agar dapat menonton tim kesayangannya berlaga.
“Bagi mereka, sepak bola adalah harga diri dan martabat daerah atau martabat bangsa”, ujarnya di Fisipol UGM, Selasa (4/10).
Menurut Hempri mampu memahami karakteristik yang dimiliki para suporter sepak bola sebagai hal yang seharusnya menjadi bahan untuk pola-pola pengasuhan, penanganan atau pengamanan suporter. Oleh karena itu, pendekatan persuasif sudah semestinya harus diutamakan.
“Kasus di Kanjuruhan menunjukkan justru pendekatan represif yang dikedepankan. Penggunaan pentungan, penggunaan gas air mata yang sudah jelas dilarang FIFA ternyata justru masih digunakan,” terangnya.
Menurut Hempri, kasus di Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga bagaimana dimensi sosial suporter seharusnya menjadi pertimbangan di dalam melakukan pola penanganan suporter. Panitia pelaksana dan PSSI sudah saatnya tidak hanya sekedar mengejar keuntungan komersial dengan melupakan aspek-aspek sosial.
Ke depan, tandasnya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian banyak pihak. Pertama, soal edukasi suporter dan pendekatan-pendekatan persuasif menjadi hal yang harus diutamakan.
Pemahaman terkait karakteristik, kultur dan sejarah historis antar suporter seharusnya bisa menjadi acuan di dalam melakukan pengamanan. Bagaimanapun pola detail pengamanan antar klub akan berbeda.
“Kedua, perbaikan fasilitas infrastruktur pendukung. Bagaimana membangun stadion ramah anak, stadion ramah perempuan, stadion ramah lansia dan sebagainya. Hal-hal semacam itu perlu dilakukan dan harus dikedepankan,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Ruang Obrol