Jumlah penyandang autisme di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun jumlah tenaga profesional maupun terapis masih sangat terbatas.
“Kebutuhan akan tenaga ahli autisme cukup untuk melayani penyandang autisme yang jumlahnya terus meningkat,” kata Psikolog Klinis UGM, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Senin (2/4) saat ditemui di Klinik Tumbuh Kembang Anak RS Dr. Sardjito UGM.
Walapun belum ada angka pasti jumlah anak penyandang autisme di Indonesia, namun pemerintah merilis data jumlah anak penyandang autisme di kisaran 112 ribu jiwa pada tahun 2010 lalu. Sementara prevalensi autisme meningkat dari 1:1.000 kelahiran di awal tahun 2000 menjadi 1,68:1.000 kelahiran di tahun 2008.
Gamayanti menilai pemerintah sudah terlihat memberikan perhatian terhadap kebutuhan penyandang autisme, salah satunya dengan penyediaan pusat layanan autis. Namun begitu, rasio terapis dan rasio anak penyandang autisme tidak seimbang. Jumlah tenaga ahli yang ada untuk memberikan layanan terapi masih minim untuk melayani jumlah penyandang autisme yang lebih banyak.
“Kebutuhannya cukup besar terutama untuk tenaga ahli terapis dan tenaga pendidik sehingga jumlahnya perlu ditingkatkan lagi,”katanya memperingati Hari Peduli Autisme Sedunia yang jatuh setiap 2 April.
Penyebab autisme, kata dia, hingga saat ini masih belum bisa dipastikan secara persis. Berbagai penelitian terus dilakukan para ahli untuk menemukan berbagai penyebab yang mengakibatkan autisme. Sejumlah faktor seperti paparan polusi, persolanan neurologis, asupan makanan pada ibu hamil yang mengandung polutan, dan tekanan emosi saat kehamilan diduga sebagai pemicu autisme, tetapi para pakar belum menemukan kesimpulan pasti penyebab pasti autisme.
“Penyebab autisme ini multi faktor, tetapi hingga kini belum bisa diambil suatu kesimpulan yang pasti apa yang menjadi penyebab utamanya,” jelas dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM ini.
Gamayanti menyampaikan bahwa autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan dalam neuro developmental disorder. Gangguan perkembangan yang terjadi meliputi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.
“Autisme ini memiliki tiga ciri utama, yakni tidak tertarik berinteraksi dengan lingkungan, kesulitan berkomunikasi, dan menunjukkan perilaku stereotipe atau gerakan berulang seperti flapping hands,” tuturnya.
Selain itu, anak penyandang autis, disebutkan Gamayanti, juga sangat sensitif terhadap suara, sentuhan, rasa, bau, dan pemandangan. Kondisi ini dikenal sebagai gangguan pemrosesan sensoris. Misalnya, mereka terganggu oleh suara keras dan cenderung menutup telinga saat mendengar suara tersebut sehingga tidak akan tahan jika mendengar suara yang keras.
Anak dengan autisme juga memiliki kecenderungan mudah mengalami tantrum atau marah. Hal ini dikarenakan mereka tidak merasa nyaman dengan situasi lingkungan.
“Anak autis mudah terkena tantrum karena mungkin situasi lingkungan yang tidak nyaman karena secara sensori mereka belum bisa menerimanya,” terangnya
Meskipun penyebab autisme belum diketahui secara pasti, Gamayanti mengatakan deteksi dan penanganan sejak dini akan membantu perbaikan perkembangan anak penyandang autis. Deteksi dini autisme bisa dilakukan oleh orang tua dengan melihat dan memantau tumbuh kembang anak sejak kecil.
Biasanya orang tua bisa sangat merasa saat anak dalam proses yang seharusnya bisa bicara. Namun, deteksi dini bisa dilakukan sejak usia 3-4 bulan dengan melihat ketertarikan interaksi dengan lingkungan.
“Pada beberapa kasus ditemukan perkembangan penyandang autis seakan normal hingga usia 2 tahun lalu mengalami penurunan sesudahnya,” katanya.
Oleh sebab itu, Gamayanti menekankan pentingnya bagi orang tua untuk selalu rutin memeriksakan kesehatan dan tumbuh kembang anak di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, seperti posyandu dan puskesmas, maupun dokter. Apabila hal ini dilakukan secara rutin maka autisme bisa dikenali sejak dini dan anak bisa segera dirujuk ke pusat rujukan tumbuh kembang anak untuk dilakukan penegakan diagnosis sehingga bisa mendapatkan intervensi sejak awal.
“Yang utama adalah terapi sensori dan perilaku, sedangkan obat hanya diberikan dalam kondisi tertentu misalnya anak hiperaktif ataupun sulit didekati,” katanya.
Mempunyai anak dengan autisme menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua. Mengetahui anaknya mengalami gangguan perkembangan dapat membuat orang tua sulit menerima hal tersebut. Namun, orang tua perlu segera menyesuaikan diri dan perasaannya dengan kondisi anak.
“Harus ada penerimaan dari orang tua terhadap kondisi anak dan mendukung kehidupannya. Meminimalkan kendala yang ada dan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki anak,”tegasnya. (Humas UGM/Ika)