Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan webinar yang bertajuk “Implikasi Putusan MK terhadap Substansi Undang-Undang Cipta Kerja” pada Kamis, (16/12). Seminar ini membahas 6 klaster substansi UUCG meliputi bisnis, perpajakan, administrasi pemerintahan, pidana, ketenagakerjaan dan pertanahan yang disoroti oleh 6 pembicara.
Dalam amar putusan, MK menyatakan bahwa UUCK inkonstitutional bersyarat dan memberikan tenggat waktu 2 tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan. Mahkamah juga memutuskan agar ada penangguhan pelaksanaan UUCK yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas. Namun, hal-hal strategis dan berdampak luas serta kebijakan strategis yang terdapat dalam putusan tersebut membuka ruang multi-interpretasi baru.
Karina Putri mengungkapkan arti penting untuk menengok kembali urgensi menggunakan Ease of Doing Business (EODB) sebagai tool utama untuk pengambilan kebijakan kemudahan berusaha di Indonesia.
“Seperti yang diketahui Bank Dunia pun mulai berani berterus terang bahwa adanya data irregularities terkait peringkat EODB sebuah negara yang mencoreng kredibilitas institusi tersebut sebagai lembaga pemeringkat,” papar dosen Fakultas Hukum UGM itu.
Dari klaster Perpajakan, Taufiq Adiyanto, menyatakan bahwa hadirnya Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat mengubah haluan pelaksanaan agenda perpajakan pemerintah Indonesia.
“Beragamnya interpretasi terhadap pelaksanaan dari Amar ke-7 Putusan MK dan risiko apabila perbaikan UUCK tidak dilakukan sesuai waktu yang diberikan dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum di sektor perpajakan. Di antaranya pembebasan PPh terhadap dividen, restitusi PPN batubara dan penyesuaian dari tarif pajak dan tarif retribusi daerah,”
Dari sisi hukum Pidana, M. Fatahillah Akbar mengungkapkan bahwa Penuntutan Ketentuan Pidana dalam UUCK dapat ditafsirkan sebagai salah satu tindakan strategis jika merujuk pada Pasal 4 UUCK.
“Jika dikaji secara komprehensif juga terdapat lebih dari 100 putusan pidana yang didasarkan pada UUCK, sehingga bisa dinyatakan juga sebagai dampak yang meluas. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemidanaan berdasarkan UUCK ditangguhkan untuk sementara. Namun, penangguhan pemidanaan berdasarkan UUCK ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah pemidanaan dengan undang-undang sebelumnya dimungkinkan,” papar Fatahillah.
Masih terkait asas lex favor reo di bidang administrasi pemerintahan, Hendry Julian Noor, menggarisbawahi (keputusan) fiktif positif UUCK membuka celah perilaku koruptif tanpa pengawasan PTUN. Hal ini mengingat bukan tidak mungkin sikap diam tersebut dilakukan dengan sengaja atas dasar kerja sama untuk melakukan kesepakatan yang koruptif (devil’s agreement) antara pemohon dengan Administrasi Pemerintahan.
Sementara itu, Susilo Andi Darma mengungkapkan banyak Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan UUCK dianggap tidak berpihak pada pekerja/ buruh, seperti pada PP terkait Tenaga Kerja Asing. PP tentang PKWT, alih daya, waktu kerja, waktu istirahat dan PHK.
Dari klaster pertanahan, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono menyampaikan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan setelah adanya putusan MK ini, meliputi perbaikan substansi pertanahan dalam UUCK dan peraturan pelaksanaannya serta konsepsi, prinsip, dan asas-asas Hukum Pertanahan Nasional sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5/1960 (UUPA) harus menjadi satu-satunya landasan pengaturan pertanahan.
Selengkapnya klik disini
Penulis: Desy