
Menjelang Hari Raya, Presiden Prabowo Subianto mendorong perusahaan penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi memberikan bonus hari raya keagamaan atau tunjangan hari raya (THR) kepada para pengemudi maupun kurir online, Senin (10/3) lalu. Meskipun secara hubungan kerja, para pengemudi dan kurir ini tidak terikat hubungan kerja formal dengan perusahaan aplikasi, namun himbauan pemberian bonus ini patut diapresiasi mengingat para mitra ojol yang selama ini kesejahteraannya belum memadai.
Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si menyatakan perhatian pemerintah kepada perusahaan aplikasi untuk memberi THR dalam bentuk bonus uang tunai kepada para pengemudi dan kurir online layak mendapat apresiasi. Pasalnya, realitas selama ini menunjukkan kesejahteraan para pengemudi ojek online (Ojol) belum memadai dengan posisi mereka sebagai mitra. “Mereka ini kan para pekerja yang tidak punya pendapatan bulanan tetap, bahkan jaminan sosial yang kurang layak,” katanya di Kampus UGM, Kamis (13/3).
Menurut Hempri, sektor ojek online dan kurir online selama ini telah berjasa membantu memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat luas. Sehingga, menurutnya, layak jika para pekerja di sektor ini mendapatkan semacam bonus jelang lebaran.
Mekanisme pemberian THR ini, sebut Hempri, harus dicermati terutama terkait soal indikator penentuan jumlah nominal yang akan diberikan. Meski Menteri Ketenagakerjaan Yassierli sudah menyatakan besaran bonus yang akan diberikan dalam bentuk uang tunai sebesar 20 persen dari rata-rata pendapatan bersih bulanan selama 12 bulan terakhir.
Soal pemberian THR ke pengemudi dan kurir dari perusahaan aplikasi ini, Hempri menyarankan perlu adanya perubahan regulasi menyangkut siapa yang berhak mendapatkan THR. Sebab jika mengacu pada Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/2/HK.04/III/2024, maka profesi pengemudi ojol dan kurir paket dikategorikan sebagai pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). “Nah ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai payung hukum pemberian THR. Satu hal yang diperlukan saat ini adalah pengawasan atas rencana kebijakan pemerintah tersebut agar THR ini benar-benar dapat diberikan kepada pengemudi ojol dan driver,” imbuhnya.
Di sisi lain para pekerja gig worker ini masih dianggap sebagai mitra platform sehingga kurang memiliki dasar regulasi yang dapat menjadi payung hukum bagi jaminan ketenagakerjaan. “Khawatirnya di dalam model pemberian THR juga demikian. Misal pemilik platform hanya memberikan bentuk bonus ala kadarnya saja dan bukan THR yang dimaksud,” ungkapnya
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Shutterstock