
Kemiskinan masih menjadi persoalan besar di Indonesia, tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dalam akses terhadap keadilan. masyarakat miskin kerap mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar serta menghadapi tantangan dalam memperoleh hak-haknya secara hukum. “Kemiskinan bukan hanya soal tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga keterbatasan akses terhadap keadilan,” ujar pegiat aktivis HAM Haris Azhar, S.H., M.A., saat memberi ceramah shalat tarawih di Masjid Kampus UGM, Senin (17/3).
Ia menjelaskan bahwa masyarakat miskin seringkali terjebak dalam situasi yang membuat mereka tidak berdaya. Sehingga mereka bergantung pada pihak yang memiliki kekuasaan dalam mendistribusikan sumber daya, termasuk akses terhadap ilmu dan perlindungan hukum.
Pendiri Lokananta tersebut menyoroti bahwa hukum positivistik di Indonesia mampu memposisikan masyarakat lapisan rendah sebagai pelaku kriminal ketika sedang mempertahankan haknya ketika menjadi korban kebijakan, seperti dalam kasus Proyek Strategis Nasional (PSN). “Mereka yang terdampak sering kali melakukan protes, yang kemudian dianggap sebagai persengketaan hukum dan bisa berujung pada tindak kriminal atau justru mereka yang dikriminalisasikan,” jelasnya.
Dalam konteks akses terhadap keadilan, Haris mengkritisi bahwa alokasi puluhan miliar dana bantuan hukum oleh negara belum merata dari segi persebarannya. Ia mengacu pada survei organisasi internasional tahun 2019 yang menunjukkan adanya persentase yang cukup besar terkait ketersediaan bantuan hukum, tetapi tidak 100% keadilan bagi orang miskin dapat diakses karena organisasi bantuan hukum juga dibiayai oleh negara dan di dalamnya memiliki carut marut permasalahannya sendiri, seperti masalah administrasi dan birokrasi organisasi. “Ini artinya negara tidak sukses memastikan ketersediaan bantuan hukum bagi orang miskin ketika mereka mengalami ketidakadilan, beruntung masih ada organisasi sosial yang mengerjakan bantuan hukum tadi,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyoroti bahwa masyarakat miskin tidak hanya menghadapi kendala hukum tetapi juga tantangan dalam kesejahteraan. Ketidakseimbangan dalam akses terhadap ilmu dan pekerjaan sering kali membuat mereka semakin bergantung pada kelompok yang memiliki otoritas. “Ketergantungan ini menciptakan ketakutan. Bahkan, saat ada yang berani melawan, mereka tetap berada dalam posisi yang tidak seimbang,” ujarnya.
Menutup pembahasannya, Haris menegaskan pentingnya membangun kesadaran akan keadilan yang lebih luas di masyarakat. “Kita tidak bisa hanya bergantung pada negara. Perlu ada inisiatif untuk membangun struktur keadilan dari warga sendiri. Dengan begitu, negara bisa mencontoh dan mulai berbenah,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Detik