
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran strategis dalam menjaga palang pintu konstitusi di tengah dinamika sosial dan politik yang terus berubah berkembang. Sebagai penjaga konstitusi, MK harus tetap independen dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Penurunan demokrasi yang terjadi dalam satu dekade terakhir menjadi peringatan bagi semua pihak untuk kembali menegakkan rule of law dan menjaga keseimbangan antara hukum dan kekuasaan. Hal itu disampaikan oleh Mantan Ketua MK RI Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., saat mengisi ceramah Ramadhan Public Lecture, Selasa (18/3) di Masjid Kampus UGM.
Dalam pemaparannya, Zoelva Zulva menuturkan bahwa konstitusi bukan sekadar teks yang kaku, melainkan sebuah “living constitution” yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman. Bahkan konstitusi menjadi bagian kristalisasi dari kehendak rakyat. “Konstitusi tidak semata-mata teks. Di baliknya, adalah jiwa konstitusi yang merupakan kristalisasi dari kehendak rakyat paling dalam dan kemudian dirumuskan menjadi teks,” ungkapnya.
Melalui konsep living constitution, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat terus mengilhami dan menjaga nilai-nilai dasar konstitusi dalam penyelenggaraan negara. Namun, dalam praktiknya, MK kerap dianggap melenceng dari tugasnya ketika berusaha menyesuaikan diri dengan aspirasi rakyat. “Mahkamah Konstitusi sering kali dianggap melenceng dari tugas untuk menjaga konstitusi karena ingin mengikuti kehendak rakyat. Karenanya, menjadi lazim bagi MK untuk dimusuhi oleh lembaga-lembaga kekuasaan pada umumnya,” jelasnya.
Hamdan Zoelva menilai, saat ini Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi yang sangat rentan, di antara hukum dan kekuasaan. Sebagai lembaga yang secara khusus mengadili kebijakan dan urusan politik, MK tidak jarang menghadapi tekanan politik yang berupaya mempengaruhi putusannya. “Jika para hakim MK tidak cukup independen maka akan semakin mudah untuk dimasuki anasir-anasir kekuasaan yang hendak melanggengkan atau memperbesar kekuasaan,” jelasnya.
Menurut hemat Hamdan Zoelva, apabila kekuasaan negara menjadi terlalu dominan, maka keberadaan MK sebagai penjaga konstitusi dapat terganggu. Dalam konteks demokrasi, maka independensi MK menjadi krusial agar hukum tetap dihormati dan tidak hanya menjadi alat bagi kepentingan politik tertentu. Apalagi dalam satu dekade terakhir, demokrasi di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari menurunnya ketaatan terhadap hukum (rule of law) serta berkurangnya otonomi daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan menjadi kecenderungan global. Banyak negara bergerak ke arah yang lebih konservatif dengan menekan kebebasan demi stabilitas dan pembangunan. Indonesia sendiri, menurutnya, banyak meniru model pembangunan Cina yang menekankan pada sentralisasi kekuasaan dan efisiensi pembangunan, meskipun mengorbankan aspek demokrasi dan hak asasi manusia. “Hal ini dilakukan dengan lebih besar menggunakan kekuasaan kemudian mengurangi kebebasan, HAM tidak terlalu penting karena targetnya adalah pencapaian percepatan untuk kesejahteraan dan pembangunan negara,” jelasnya.
Namun begitu, Indonesia sendiri memiliki karakter yang berbeda dengan Cina. kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 harus tetap menjadi orientasi utama dalam penyelenggaraan negara.“Negara kita dibangun oleh rakyat. Kita dibentuk dari bawah, bukan dari atas,” tegasnya.
Dengan memahami bahwa konstitusi adalah living constitution yang tumbuh seiring perkembangan zaman, ia berpesan agar para hakim Mahkamah Konstitusi harus tetap menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa kedaulatan rakyat tetap menjadi roh utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Penulis : Rahma Khoirunnisa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok.Masjid Kampus