
Sutradara Garin Nugroho kembali membuat karya film terbarunya yang berjudul “Nyanyi Sunyi dalam Rantang” yang ditayangkan perdana di Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada, Rabu (13/6). Menyorot realita penegakan hukum Indonesia, film garapan Garin Nugroho bersama lima lembaga kementerian yang tergabung dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) ini mengangkat empat kisah nyata kasus ketidakadilan yang mengorbankan masyarakat pemilik tanah adat, perampasan hak petani, hingga ancaman kebebasan berbicara.
Film ini mengisahkan perjalanan seorang pengacara perempuan bernama Puspa (Della Dartyan) dalam menangani kasus yang melibatkan masyarakat sipil. Kekalahannya dalam beberapa kasus membuatnya sering termenung dan seolah pasrah akan apa yang terjadi. Puspa memahami bahwa ia tidak mampu memenangkan kasus-kasus yang melibatkan konflik kepentingan dengan pihak yang lebih berkuasa, seperti pejabat, polisi, hingga perusahaan. Sepanjang film, Puspa selalu menenteng rantang berwarna merah dan melantunkan lagu “Nona Manis Siapa yang Punya” setiap kali jiwanya larut dalam kesedihan. Rantang merah tersebut ia bawa pada kliennya setiap kali gagal dalam memperjuangkan hak mereka.
Beberapa adegan memperlihatkan aksi putus asa keluarga korban sebagai simbol atas perlawanan tanpa henti terhadap ketidakadilan yang menimpa mereka. Puspa senantiasa meyakinkan korban bahwa perbuatan mereka tidak salah, namun sulit bagi hukum untuk memihak mereka. Bahkan puncaknya, adik Puspa bernama Krisna (Alex Suhendra) pada akhirnya juga ditangkap karena aksi kritik terhadap penyuapan yang dianggap menghina komunitas masyarakat tertentu. Alur cerita konflik disajikan secara intens, sehingga mampu menggambarkan bagaimana rasa frustasi dan kelelahan para korban melawan hukum yang runcing ke bawah.
Alex Suhendra, pemeran Krisna mengaku senang bisa terlibat dalam proyek strategis pemberantasan korupsi. Baginya, berperan sebagai protagonis adalah tantangan tersendiri karena ia sering mendapat peran antagonis. Ditambah lagi, Alex hanya memiliki waktu satu hari untuk mempersiapkan peran tersebut. “Karakter saya sempat diganti, sebetulnya bukan sebagai Krisna. Berperan sebagai orang baik itu ternyata sangat susah, apalagi pendalaman karakter hanya satu hari,” ungkapnya. Proses dibalik layar memang melibatkan banyak brainstorming dari tim Garin demi menciptakan refleksi tepat atas realita kasus-kasus tersebut.
Disampaikan Didik Mulyanto, Analis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), film ini menjadi salah satu strategi komunikasi untuk memberikan pemahaman lebih mendalam terkait pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). “Kami berupaya untuk meningkatkan literasi seputar dampak yang ditimbulkan oleh korupsi sistemik. Kegiatan ini adalah diseminasi informasi yang harapannya mampu menebalkan pemahaman kritis terkait fenomena di lapangan,” ujarnya. Stranas PK dalam proses produksi film ini juga menggandeng Padi Padi Pictures, Garin Workshop, GIZ Corruption Prevention in the Forestry Sector (CPFS), dan Tempo Media.
Sejalan dengan itu, Wirastuti Widyatmanti, S.Si., Ph.D selaku Kepala Biro Manajemen Strategis UGM juga menjelaskan bahwa universitas ikut bertanggung jawab untuk membantu pemberantasan korupsi nasional. “Kita melihat negara-negara maju yang bersih dari korupsi itu butuh puluhan tahun agar memastikan tata kelola bersih, berakuntabilitas serta berintegritas. Tentunya kami tidak bisa sendiri, karena itulah ini membutuhkan kolaborasi,” katanya.
Apresiasi terhadap film “Nyanyi Sunyi dalam Rantang” juga disampaikan oleh Sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P. Menurutnya, sepanjang 28 tahun upaya pemberantasan KKN dilaksanakan, sampai saat ini ternyata belum cukup berhasil. “Memang perlu ada upaya reflektif. Sebelum ini juga KPK pernah membuat film tahun 2000-an, dan saya apresiasi film seperti ini dibuat lagi,” tuturnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie