
Kisruh pertambangan di kawasan Raja Ampat kembali memicu kekhawatiran luas, tidak hanya di kalangan pemerhati lingkungan tetapi juga dari para akademisi. Beberapa izin usaha pertambangan (IUP) memang telah dicabut pemerintah, namun sejumlah perusahaan masih menggugat pencabutan itu dan berpotensi kembali beroperasi. Lebih memprihatinkan, sebagian wilayah tambang berada di kawasan Geopark Raja Ampat, wilayah konservasi yang secara hukum dan etika semestinya dilindungi secara ketat. Situasi ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan kawasan-kawasan strategis nasional.
Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., menyampaikan keprihatinannya atas kondisi ini. Mayong, biasa ia dipanggil, menegaskan bahwa kegiatan pertambangan di kawasan hutan harus melalui prosedur yang ketat dan berlapis, terutama jika lokasi tambang berada di kawasan konservasi, termasuk hutan lindung. Menurutnya, proses ini seringkali dipersingkat atau dilewati secara tidak semestinya, terutama saat kepentingan ekonomi mendominasi pertimbangan lingkungan. “Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi area tambang seharusnya melalui perubahan tata ruang maupun pelepasan kawasan hutan sesuai aturan,” jelasnya, Rabu (18/6).
Mayong menjelaskan bahwa untuk dapat melakukan tambang di kawasan hutan, perusahaan tidak hanya harus mengantongi IUP dari Kementerian ESDM, tetapi juga harus mendapatkan izin pemanfaatan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan yang saat ini disebut PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan). Namun, ia menyayangkan jika ada perusahaan yang awalnya hanya mengantongi izin eksplorasi, tetapi langsung melangkah ke aktivitas produksi tanpa pengawasan. “Idealnya, pemerintah daerah dan pusat saling memantau, dan proses verifikasi lapangan dilakukan secara ketat sebelum izin diberikan. Sayangnya, lemahnya koordinasi antarlembaga acapkali membuka celah untuk terjadinya pelanggaran administratif maupun substansial,” tegasnya.
Dalam konteks hukum, perusahaan tambang memiliki hak untuk menggugat pencabutan izin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mayong menyebut bahwa kembalinya izin yang telah dicabut menunjukkan adanya dua masalah sekaligus, yakni kelemahan dalam prosedur administratif dan lemahnya pengawasan pasca pencabutan. Ia menekankan bahwa penegakan hukum lingkungan tidak boleh berhenti di atas kertas tetapi harus menyentuh realitas di lapangan. “Jika pengawasannya lemah, perusahaan bisa saja diam-diam melanjutkan operasi sambil menunggu hasil gugatan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa situasi di Papua Barat Daya memang memiliki tantangan geografis dan kapasitas yang tidak seimbang. Wilayah yang luas, terpencil, dan terdiri dari banyak pulau menyulitkan patroli dan pengawasan secara rutin. Selain itu, setelah diberlakukannya UU Minerba 2020 dan UU Cipta Kerja, wewenang perizinan tambang ditarik ke pemerintah pusat, membuat pemerintah daerah kehilangan peran strategis dalam pengawasan di lapangan. Ketimpangan antara kebijakan terpusat dan kenyataan geografis di daerah harus segera dijembatani melalui pendekatan yang lebih desentralistik. “Aparat pusat tidak selalu bisa menjangkau detail operasi di daerah terpencil, dan ini memperbesar risiko pelanggaran yang luput dari perhatian,” katanya.
Menurutnya, solusi ideal pengawasan adalah membangun sistem pengawasan lintas sektor yang bersifat kolaboratif dan adaptif. Mayong menekankan perlunya kerja sama antara Kementerian Kehutanan, ESDM, pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum. Ia juga menambahkan bahwa peningkatan kapasitas teknis dan dukungan anggaran pada lembaga pengawasan harus menjadi prioritas dalam reformasi sistem monitoring tambang. “Ditjen Gakkum Kemenhut perlu proaktif turun ke lapangan dan bekerja dengan data spasial yang akurat,” ujarnya.
Dampak ekologis dari pertambangan di pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Raja Ampat, dinilainya sangat destruktif dan bisa bersifat permanen. Hutan yang ditebang dalam skala besar akan mengakibatkan erosi tanah, yang kemudian terbawa hujan ke laut dan menutup terumbu karang dengan sedimen. Jika terumbu karang rusak, maka daya tarik pariwisata dan keseimbangan ekologi laut juga ikut runtuh. “Padahal, terumbu karang adalah fondasi ekosistem laut Raja Ampat,” ujar Mayong.
Selain berdampak pada ekosistem laut, pertambangan juga menghancurkan siklus hidrologi di pulau kecil. Hutan di pulau-pulau kecil berfungsi menyerap dan menyimpan air hujan. Ketika kawasan itu dibuka untuk tambang, sumber air tawar bisa hilang, dan air tanah berpotensi tercemar oleh limbah tambang yang mengandung logam berat. Di wilayah kepulauan seperti Raja Ampat, krisis air bersih bisa memicu ketimpangan sosial dan konflik sumber daya. “Kontaminasi air juga berpotensi tinggi dari limbah tambang dan bisa mengancam sumber air bersih masyarakat,” jelasnya.
Mayong juga mengingatkan bahwa kawasan yang telah ditetapkan sebagai Geopark semestinya tidak lagi dibuka untuk kegiatan ekstraktif seperti tambang. Geopark adalah wilayah dengan nilai geologi dan biodiversitas tinggi yang seharusnya dijaga untuk pendidikan, konservasi, dan ekowisata. Ia mengusulkan agar status geopark secara otomatis dikunci dalam tata ruang sebagai zona lindung mutlak yang tak bisa diganggu gugat. “Aktivitas pembukaan wilayah hutan jelas bertolak belakang dengan konsep geopark,” tegasnya.
Dari sisi regulasi, ia menilai beberapa perubahan dalam UU Cipta Kerja memperlemah kontrol terhadap pelanggaran lingkungan. Pemerintah daerah yang dulunya memiliki peran aktif dalam pengawasan kini menjadi pasif karena seluruh perizinan ditarik ke pusat. Selain itu, mekanisme sanksi yang dahulu tegas kini diganti dengan pendekatan administratif yang bisa ditebus dengan denda. Hal ini dinilainya sangat bertentangan dengan semangat keadilan ekologis dan keberlanjutan. “Perusahaan tambang yang menerobos kawasan hutan secara ilegal bisa lolos pidana hanya dengan membayar kompensasi,” kritiknya.
Agar kasus serupa tidak terus terulang, Mayong menyarankan pendekatan multilapis dari sisi kebijakan, pengawasan, hingga pelibatan masyarakat. Pemerintah pusat diminta menegaskan larangan tambang di kawasan bernilai ekologis tinggi dan segera memberlakukan moratorium untuk wilayah seperti geopark, pulau kecil, dan hutan lindung. Ia menambahkan bahwa seluruh audit lingkungan harus menjadi syarat wajib bagi perusahaan tambang, bukan sekadar formalitas. “Penataan tata ruang harus diperkuat agar tidak ada lagi izin tambang yang bertentangan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) atau zonasi pesisir,” ujarnya.
Ia juga menyarankan pembentukan satuan tugas (Satgas) pengawasan tambang di daerah yang melibatkan berbagai instansi dan unsur independen. Satgas ini harus dibekali dengan teknologi pemantauan serta dukungan sumber daya manusia yang terlatih. Pengawasan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi memerlukan sistem yang terkoordinasi dan terdesentralisasi. Kolaborasi antarsektor perlu dijalankan secara reguler dan berbasis data.“Latih lebih banyak polisi hutan dan inspektur tambang agar paham betul indikator kerusakan lingkungan,” sarannya.
Di sisi lain, keterlibatan masyarakat lokal dinilai sebagai kunci keberhasilan perlindungan lingkungan jangka panjang. Masyarakat setempat dan adat memiliki kearifan serta pengalaman dalam menjaga alam. Mayong menekankan pentingnya edukasi, konsultasi publik, dan pembentukan komite pengawas lingkungan di tingkat kampung. Ia juga menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari lingkungan lestari seperti ekowisata dan perikanan ramah lingkungan harus benar-benar dirasakan masyarakat agar mereka punya insentif untuk menjaga alam. “Masyarakat menjadi garis depan pengawasan karena mereka yang paling kenal dan peduli terhadap wilayahnya sendiri,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : papuaexplorers.com