
Dua orang Dosen Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam waktu bersamaan, Selasa (24/6). Kedua Guru Besar itu adalah Prof. Dr. drg. Rosa Amalia, M.Kes dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Epidemiologi dan Biostatistika. Sedangkan Prof. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio., Subsp.RPID (K), FISID dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Medisin Periodontal.
Dalam upacara pengukuhan yang dilaksanakan di ruang Balai Senat UGM, Rosa Amalia menyampaikan pidato berjudul Menjelajah Angka, Membaca Masa Depan: Peran Epidemiologi dan Biostatistika Di Era Kedokteran Gigi Presisi. Sedangkan Prof. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio., Subsp.RPID (K), FISID menyampaikan pidato berjudul Periodontitis Diabetika: Kompleksitas Penyakit dan Tantangan Multidispliner.
Rosa mengungkapkan transformasi menuju era Predictive, Preventive, Personalized, and Participatory (P4) dentistry memperlihatkan pengelolaan kesehatan masa depan haruslah berbasis data ilmiah dan berpusat pada individu. Epidemiologi dan biostatistika, disebutnya memainkan peran sentral dalam membaca pola kesehatan, membangun model prediktif, serta memastikan intervensi yang tepat sasaran dan adil bagi seluruh populasi.
Melalui pendekatan ini, katanya, masyarakat akan memperoleh manfaat yang nyata yaitu risiko penyakit gigi dapat diketahui lebih awal, pencegahan bisa dilakukan dengan cara yang sesuai kebutuhan masingmasing individu, dan pasien menjadi mitra aktif dalam menjaga kesehatannya. Penerapan ilmu ini tidak hanya meningkatkan kualitas layanan, tetapi juga memperkuat kebijakan kesehatan yang berpihak pada keadilan, keberlanjutan, dan keselamatan publik. “Pengembangan kapasitas di bidang epidemiologi dan biostatistika bukan hanya penting untuk dunia akademik, tetapi juga menjadi aset strategis untuk kesehatan masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Rosa, konsep P4 dentistry dapat menjadi panduan dalam praktik sehari-hari. Saat ini klinisi dihadapkan pada data pasien yang lebih kompleks mulai dari riwayat medis hingga informasi genetik. Tugas klinisi adalah mengubah data tersebut menjadi keputusan klinis yang personal, tepat waktu, dan mudah dipahami pasien. “Dengan teknologi seperti AI dalam radiografi atau analisis risiko karies berbasis gaya hidup, perawatan bisa dilakukan lebih awal dan lebih efektif. Dalam peran ini, klinisi tidak hanya menjadi penyembuh, tetapi juga mitra edukatif dan motivator bagi pasien dalam menjaga kesehatan mulut mereka secara berkelanjutan”, paparnya.
Sementara itu, Syaify melalui pidatonya menyampaikan soal functional medicine sebagai pendekatan berbasis ilmu biomedis mutakhir menyatukan temuan-temuan dalam imunologi, metabolisme, nutrigenomik, mikrobiota, dan endokrinologi ke dalam kerangka praktik klinis yang lebih personal, preventif, dan integratif. Melalui pendekatan ini para klinisi dituntut tidak hanya fokus hanya pada “tempat sakitnya”, atau berhenti di pembersihan karang gigi atau pemberian antibiotik sistemik, namun diajak untuk menggali lebih dalam apa dan bagaimana pola makan pasien selama ini.
Pengalamannya selama dua dekade menekuni bidang periodonsia, Syaify semakin menyadari ilmu kedokteran gigi bukan hanya soal gigi dan gusi. Ia merupakan jendela yang memperlihatkan lanskap luas kesehatan manusia, mulai dari pola makan, gaya hidup, imunitas, hingga hubungan psiko-sosial. “Peran dokter gigi di tengah era penyakit kronis seperti diabetes saat ini tidak bisa lagi dilakukan hanya dengan kacamata spesialis namun harus mulai berpikir sebagai dokter untuk manusia secara utuh, bukan sekadar dokter gigi,”imbuhnya.
Menurut Syaify, Fakultas Kedokteran Gigi harus memiliki tradisi akademik yang kuat dan semangat ke-Indonesia-an yang kental sehingga mampu menjadi pelopor dalam mengembangkan pendekatan interdisipliner yang integratif dan transformatif. Pendekatan akademik yang tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mendidik, mencegah, dan memberdayakan. “Saya berharap semakin banyak kolega, mahasiswa, dan pemangku kebijakan yang tidak hanya paham soal Periodontitis Diabetika, tetapi juga tergugah untuk memperjuangkan kedokteran yang lebih manusiawi”, pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto