
Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 30 September 2025 mencapai Rp371,5 triliun atau 1,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun mengalami tekanan, keseimbangan primer tetap positif meski masih berada di bawah target outlook 2025 sebesar 2,78 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kinerja fiskal Indonesia relatif terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Menanggapi hal tersebut, pakar kebijakan fiskal dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE, menilai bahwa defisit APBN 2025 masih tergolong sehat dan terkendali. “Defisit sebesar 1,56 persen terhadap PDB masih aman karena keseimbangan primer tetap positif dan rasio utang terhadap PDB berada di kisaran 39–40 persen. Artinya, ruang kebijakan fiskal kita masih cukup luas,” ungkapnya, Rabu (22/10).
Menurutnya, tekanan terhadap APBN tahun ini bersifat siklikal, bukan struktural. Sebab, penurunan harga komoditas global, khususnya batubara dan sawit, menekan penerimaan pajak dan PNBP. Namun, sektor manufaktur dan jasa masih berkontribusi positif sehingga menjaga daya tahan fiskal kita.
Meski begitu, ia juga menyoroti rendahnya rasio pajak Indonesia yang masih sekitar 10 persen terhadap PDB, jauh di bawah rata-rata banyak negara lain yang mencapai 20 persen. Basis penerimaan fiskal kita masih sempit sehingga rentan terhadap fluktuasi harga komoditas.
Sementara itu, dari sisi belanja, realisasi hingga kuartal III baru mencapai 62,8 persen dari outlook. Beberapa kementerian/lembaga (K/L) besar bahkan masih di bawah 50 persen, seperti Badan Gizi Nasional (16,9 persen), Kementerian PUPR (48,2 persen), dan Kementerian Pertanian (32,8 persen). “Masalah ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga struktural. Kesiapan anggaran sejak awal tahun yang belum optimal, kecenderungan menunda belanja (fiscal inertia), serta rendahnya efisiensi alokasi (allocative efficiency) menjadi penyebab utama rendahnya serapan anggaran,” terang Rijadh.
Ia menegaskan, percepatan serapan belanja harus menjadi prioritas agar fungsi stabilisasi APBN tetap berjalan optimal. Pemerintah perlu mempercepat pengadaan barang dan jasa sejak awal tahun serta memastikan mekanisme pembayaran berjalan sesuai jadwal untuk menghindari penumpukan belanja di akhir tahun.
Menutup pandangannya, Rijadh berharap kebijakan fiskal di sisa tahun 2025 difokuskan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal. Apalagi pemerintah memiliki waktu kurang dari tiga bulan untuk merealisasikan belanja sekitar Rp 527 triliun. “Fokusnya bukan sekadar menghabiskan anggaran, tetapi memastikan setiap rupiah digunakan secara efektif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Radioidola